Jokowi Effect sangat pendek. Begitu Gubernur Jakarta
Joko Widodo maju sebagai calon presiden, bursa menanggapi dengan begitu bersemangat. Harga saham melonjak terutama karena investor berharap berbisnis di Indonesia lebih menguntungkan. Begitu pencalonan
Jokowi diumumkan, harga melonjak dan indeks terangkat sampai 152 poin menjadi 4.878.
Tapi Jokowi Effect rupanya segera berlalu. Ada kabar buruk dari Amerika Serikat. Ketua The Fed, Janet Yellen, mengatakan suku bunga acuan mereka akan dinaikkan dari 0,25 persen menjadi 1 persen. Dalam sekejap, harga saham turun dan indeks malah lebih buruk posisinya dibanding sebelum pencalonan Jokowi diumumkan. “(Rencana kenaikan suku bunga The Fed) ini berpengaruh pada pasar modal dan pasar uang,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.
Pernyataan Yellen memicu kekhawatiran bahwa dana-dana asing di emerging market negara berkembang, seperti Indonesia, yang rating utangnya tidak sebagus negara maju akan ditarik investor kelas kakap ke pasar ke-uangan Amerika. Dengan posisi suku bunga acuan di Amerika Serikat 0,25 persen, negara seperti Indonesia masih bisa menarik investor asing. Ini karena bunga di Indonesia sangat tinggi, suku bunga acuan di Indonesia 7,5 persen. Tapi, dengan kenaikan suku bunga Amerika, sebagian investor akan mengalihkan dana dari Indonesia. Meski bunga Indonesia masih cukup tinggi, rating utang tidak sebagus Amerika. Risiko di Indonesia dianggap tinggi. Bank sentral Amerika, Federal Reserve atau lazim disebut The Fed, memang belum mengumumkan kapan bunga dinaikkan. Tapi mungkin bakal dilakukan pada kuartal pertama tahun depan, setelah tapering (pengurangan) paket perangsang ekonomi selesai, dampak langsung terasa di bursa, yang investornya sangat sensitif terhadap kabar apa pun.
Jokowi Effect VS Yellen Effect ini menarik perhatian seorang blogger
Rahmat Febrianto (
ilusi Jokowi Effect yang makin berlebihan) berikut isi artikelnya. Sore ini saya membaca artikel di Kompas.com. Judulnya membuat saya tersenyum geli, apalagi isinya. Kali ini menurut saya Kompas sudah terlalu berlebihan untuk menjadi pemihak Jokowi. Dulu kala Jokowi dicalonkan, diberitakan bahwa dampak dari pencalonan itu adalah penguatan rupiah dan indeks.
Jokowi effect dikaitkan dengan pasar modal
Di dalam mata kuliah Pasar Modal 101 atau mata kuliah paling dasar, kami diberitahu bahwa harga saham HANYA berubah JIKA dan HANYA JIKA pasar mencerap atau mempersepsi (perceived) bahwa sebuah berita memiliki kandungan informasi dan bahwa informasi tersebut akan mengarah pada perubahan aliran kas perusahaan di masa depan.
Contoh paling gampang begini. Jika perusahaan mengumumkan kenaikan laba perusahaan sebesar 10% lebih tinggi daripada tahun sebelumnya, maka pasar mempersepsi bahwa aliran kas perusahaan juga menaik kurang-lebih 10% juga. Logikanya jika aliran kas perusahaan juga menaik, maka dividen yang dibagikan oleh perusahaan kepada pemegang saham juga akan menaik. Dengan persepsi ini, maka pelaku pasar mencerap bahwa prospek perusahaan baik. Selanjutnya bisa kita tebak bahwa pelaku pasar akan membeli saham tersebut dan harga saham menaik. Saya tekankan poin penting di sini: informasi yang diterima pasar mesti dipersepsi memiliki pengaruh pada aliran kas di masa depan. TITIK. Muncul pertanyaan.
Informasi apa sajakah yang akan merubah harga saham sebuah perusahaan?
Sangat banyak. Yang paling dekat adalah informasi keuangan perusahaan yang dicerminkan di dalam laporan keuangan perusahaan. Butir-butir laporan keuangan yang bisa merubah harga saham juga banyak dan beragam. Informasi laba hanya salah satu. Contoh lain adalah pengumuman dividen, pelepasan aset (misalnya ada unit bisnis yang harus dilikuidasi dan signifikan bagi operasi perusahaan), rasio hutang jangka panjang, kegagalan pembayaran hutang, dan masih banyak yang lain.
Apakah informasi non-akuntansi bisa memiliki pengaruh terhadap harga saham?
Tentu saja bisa. Misalnya, informasi merger atau pemisahan dua perusahaan. Pengunduran diri CEO atau pemecatan kantor akuntan publik juga bisa memiliki pengaruh positif maupun negatif. Merger atau pemisahan diri dianggap akan mempengaruhi aliran kas perusahaan melalui penguasaan pangsa pasar atau efisiensi. Pemecatan kantor akuntan publik bisa memberi impresi bahwa perusahaan memecat “pengawas yang baik” sehingga laporan keuangan tidak lagi bisa dipercayai kegunaannya. Intinya semuanya berhubungan dengan aliran kas perusahaan.
Apakah ada informasi yang tidak berkaitan dengan aliran kas yang bisa mempengaruhi harga saham?
Nah, di dunia akuntansi, terutama di AS dikenal dengan efek Brillof–Abraham Brillof. Brillof adalah seorang profesor akuntansi yang sangat menekankan pada nilai-nilai luhur, etika praktik akuntansi. Pernyataan-pernyataannya di masa hidupnya diketahui memiliki dampak terhadap harga saham perusahaan, terutama dampak negatif.
Mengapa bisa? Apakah pernyataan Brillof memiliki konsekuensi ekonomis atau aliran kas?
Sama-sekali tidak. Dia dihormati karena integritasnya dan karena itulah maka ia bisa mempengaruhi harga saham. Saya kutip sebuah artikel tentang efeknya tersebut:
The stock market paid attention to the writings of Professor Briloff. His words would affect a stock price significantly, both in its negative direction and in its magnitude, often falling around 10 percent the day of publication. No other author has had such influence on corporate stock prices; indeed, nobody even comes close to his impact.
Adakah faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi harga saham selain dari faktor-faktor di atas? Jawaban saya: SANGAT ADA.
Dan itu adalah para pemain besar di pasar itu sendiri. Misalnya, jika saya adalah pemilik perusahaan dengan saham yang terus turun, maka saya, dengan kekuatan uang saya bisa menaikkan harga saham dengan kekuatan uang itu. Sederhananya, saya datangi (secara anonim) tiga broker yang berbeda. Masing-masing saya beri uang, katakan, 1 juta USD. Mereka lalu saya minta untuk melakukan pembelian saham saya selama waktu tertentu. Maka, Broker A, B, dan C ketika masuk ke pasar dengan modal 3 juta USD akan segera dilihat oleh pelaku pasar yang lebih kecil. Broker A menawarkan saham saya, broker B membelinya, broker C mengikuti broker B. Karena volume transaksi besar atau frekuensinya sering, maka pelaku pasar lain akan melihat. Apalagi kalau ketiganya adalah broker besar yang diikuti oleh pemain-pemain kecil. Mudah ditebak bahwa di akhir pekan atau di waktu yang saya inginkan, harga saham saya akan naik.
Katakan “penggorengan” yang dilakukan oleh ketiga broker itu dilakukan di saat ada isu pencapresan saya. Maka, kalau saya punya media atau setidaknya punya tim yang mengelola persepsi di dunia nyata dan maya, akan dengan mudah menunjukkan bahwa pasar merespon positif pencapresan saya.
Padahal, kenyataannya? Apakah ini praktik karangan saya saja?
Silakan tanya praktisi pasar modal. Mereka paham dengan praktik ini dan setiap saat melihatnya. Mereka juga punya alarm sendiri untuk tidak mengikuti perilaku saham-saham tertentu yang sering digoreng oleh pemiliknya.
Kembali ke efek Jokowi. Jokowi bukan Brillof yang komentarnya didasarkan kepada fakta. Brillof tidak pernah sowan lalu harga saham berubah. Jokowi tidak punya efek aliran kas. Dia tidak punya modal di tangan. Dia bukan pelaku pasar yang dikenal apalagi disegani pasar. Dan, di atas semuanya, dia bukan bukan Gubernur BI yang memiliki otoritas mengendalikan perekonomian makro, dia hanya dikait-kaitkan saja.
Mari cek ke media, dan lihat bahwa informasi pencapresannya dilakukan sebelum pemilu dilakukan sehingga tidak bisa disimpulkan hubungan pencapresan dia dengan hasil pemilu yang belum ada (bahkan belum dilaksanakan, for Allah sake!). Jika anda belum pasti menang apalagi menang telak macam mana anda mengklaim sesuatu berubah karena anda?
Oke katakan dia memiliki semacam efek. Efek apa?
Saya lebih percaya kalau yang dibicarakan itu adalah efek ARB atau efek Prabowo. ARB memiliki banyak perusahaan di BEI. Perilakunya akan bisa dengan mudah diterjemahkan kepada prospek perusahaan-perusahaannya. Prabowo punya musuh (masih, setidaknya) di luar negeri. Ia pernah ditolak untuk masuk ke AS demi alasan pelanggaran HAM.
Jokowi?
Saya lebih percaya bahwa (1) media, termasuk Kompas di dalamnya membesar-besarkannya saja; (2) kalaupun ada hubungan peristiwa dia yang dikaitkan dengan perubahan harga saham, maka saya cukup yakin bahwa itu kalau bukan ocehan media maka perubahan itu adalah akibat penggorengan saham belaka.
Efeknya juga tidak akan lama
Seperti lirik lagu yang Jokowi mesti tahu, “Hip today….you’ll be gone tomorrow” Ingin tau tentang saham silahkan baca pada artikel berikut ini "
bagaimana menentukan harga saham."
Belum ada tanggapan untuk "Jokowi Effect VS Yellen Effect"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.