Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin mendesak pemerintah segera mencabut izin perusahaan air kemasan. Menurut dia, air seharusnya dikuasai negara dan tidak boleh diprivatisasi. Jika air diprivatisasi, dia menilai air kemasan yang dijual hukumnya haram. Dikatakan Din, saat ini pihaknya tengah berjuang dalam menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Menurut dia, UU tersebut membuka peluang privatisasi dan komersialisasi air. Apalagi pengelolaan air tersebut dilakukan oleh perusahaan swasta asing. Sebagai bentuk konkret imbas negatif komersialisasi air tersebut adalah banyaknya air kemasan berbagai merek. Sebab, air merupakan pangkal penciptaan dan sumber kehidupan.
Kementerian Agama ingin menarik kewenangan
sertifikasi HALAL dari MUI. Sebagai Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia yang baru,
Din Syamsudin menghadapi sejumlah persoalan. Di Dewan Perwakilan Masyarakat, misalnya, kini tengah dibahas Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Melalui RUU ini, pemerintah lewat Kementerian Agama ingin menarik kewenangan sertifikasi halal dari MUI.
Pada saat hampir bersamaan, MUI disorot publik karena, seperti diwartakan sebuah majalah, ada pengurusnya yang mempermainkan urusan sertifikasi halal demi keuntungan pribadinya.
”Saya juga sudah cek, tidak ada dana yang masuk ke MUI terkait sertifikasi yang katanya sebesar Rp 780 miliar dalam setahun,” kata Din.
Selain itu, Din menerima pengaduan masyarakat perihal tingkah dai yang kerap tampil di televisi dan berpraktek ala dukun. Belum lagi ada dai yang bertingkah ala preman saat menyampaikan ceramah. Bagaimana ia menyikapi semua itu? Berikut ini petikan penjelasan
Din Syamsudin yang dikutif
royalcharter dari
majalah detik.
Menteri Agama minta agar sertifikasi halal dilakukan oleh pemerintah. Tanggapan Anda?
Ya, semua terserah pemerintah dan DPR. Saya kira MUI tidak dalam posisi yang secara mutlak bertahan dan ngotot ingin mempertahankan. Tapi, pada awalnya, ada tugas atau pemberian tugas oleh negara berdasarkan Undang-Undang (Pangan, 1997). Dulu, pada saat terjadi isu lemak babi pada susu, undangundang itu dalam salah satu pasalnya menyebutkan, bagi yang ingin mencantumkan label halal, harus mengurus sertifikat halal. Menurut UU Pangan, yang disepakati sebagai lembaga Islam itu adalah MUI, bukan ormas-ormas Islam tertentu atau gabungan ormas, karena nanti dikhawatirkan terjadi hiruk-pikuk.
Alasan lain kenapa sertifikasi harus oleh MUI?
Ini kan terkait dengan fatwa ulama. Agama memesankan, makanan yang dikonsumsi itu, selain halal, harus toyiban, baik atau berkualitas, berguna bagi kesehatan. Sebab, makanan tidak hanya untuk kepentingan fisik, tetapi juga psikis. Karena kehalalan itu ditentukan oleh agama, maka harus berdasarkan fatwa ulama yang bersifat nasional, yaitu MUI. Mengapa MUI? Karena di dalamnya ada wakil-wakil dari beberapa ormas Islam. Sebelum ada fatwa, tentu harus diteliti oleh para ahli: pangan, gizi, farmasi. Hasilnya direkomendasikan kepada Komisi Fatwa. Labelisasi bukan dilakukan oleh MUI, melainkan oleh pemerintah atau Badan Pengawas Obat dan Makanan, karena itu ada duitnya. Berapa harga satu label, umpamanya permen, itu bukan urusan MUI.
Kalau sekarang diambil oleh pemerintah?
Ya, silakan saja, tapi jangan kemudian MUI disuruh jadi pemberi stempel saja. Cuma, pendapat saya, yang sudah berjalan di masyarakat, ya, tidak usahlah pemerintah mengambil alih. Masih banyak tugas lain yang harus dilakukan Kementerian Agama. Kalau ada kekurangan, ya kita sempurnakan. Ini katanya fatwa MUI tetapi sertifikatnya dari Kementerian agama. Sertifikat itu terkait dengan fatwa, menyatu. Itu formalitas dari fatwa tersebut.
Intinya, MUI tetap keberatan, ya...
MUI tidak mau kalau ditarik (dan) hanya menjadi pelengkap, pemberi fatwa (tapi) sertifikatnya oleh pemerintah. Itu tidak baik. Sebenarnya pemerintah yang baik itu tidak banyak mengatur, karena sudah mendelegasikan ke masyarakat. Kalau mau bikin lembaga fatwa sendiri, silakan. Tapi nanti dikhawatirkan subyektif. Kalau MUI kan lembaga bersama ormas-ormas Islam.
Niat penarikan kewenangan sertifikasi itu hampir berbarengan dengan isu gratifikasi kepada pejabat MUI?
Saya sudah melakukan verifikasi. Hasilnya dapat saya katakan mengandung banyak ketidakbenaran. Saya juga sudah cek, tidak ada dana yang masuk ke MUI terkait sertifikasi yang katanya sebesar Rp 780 miliar dalam setahun.
Kalau soal akomodasi dan uang saku saat verifikasi oleh pejabat MUI?
Untuk meneliti, halal certifier itu kan harus berkunjung, tidak bisa jarak jauh. Maka tiketnya, akomodasinya, ditanggung oleh perusahaan pengundang. Kalaupun kemudian ada lumsum, amplop, itu bukan gratifikasi. Itu biaya wajar yang perlu dikeluarkan perusahaan. Kalau tidak, MUI tidak bisa berangkat. Kemarin kami harus berangkat ke Cile (untuk memverifikasi kehalalan), karena Cile juga memasukkan daging (ke Indonesia). Tetapi, karena perusahaan itu tidak mampu memberikan biaya, ya MUI tidak bisa berangkat. Kan MUI bukan lembaga negara.
Masalah lain, di televisi bermunculan dai-dai baru seperti selebritas yang terkesan mengkomersialkan ayat-ayat Tuhan?
Itu sudah diadukan ke MUI dan sudah dilakukan pertemuan dengan para dai, ustad, dan juru dakwah yang populer di media massa. Fenomena dai-dai seleb itu ada positif dan negatifnya. Tetapi, bagaimanapun, mereka adalah pion-pion dakwah Islam yang bermanfaat. Janganlah hanya karena salah sedikit kemudian langsung dibantai.
Menjelang pemilu, sejumlah calon presiden menemui Anda. Minta dukungan?
Saya kira ini perlu dipahami dan disikapi sebagai sebuah kewajaran. Tidak perlu disikapi atau diartikan sebagai manuver politik. Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga sering mengundang para tokoh bangsa, mengadakan apa yang dinamakan silaturahmi tokoh bangsa.
Ada yang meminang Anda untuk dijadikan pasangan?
He-he-he…. Kalaupun diduga kedatangan para tokoh itu sebagai peminangan, saya kira tidaklah demikian. Tetapi, dalam konteks umum, marilah kita bersama-sama membangun bangsa ini.
Sengaja menjaga jarak dengan politik?
Ada khitah politik sejak 1971, bahwa Muhammadiyah tidak memiliki hubungan struktural, organisatoris, serta tidak berafiliasi dengan organisasi politik mana pun. Jadi organisasi memberi kebebasan kepada kader-kadernya atau anggotanya untuk berjuang atau berdakwah politik lewat berbagai partai mana pun. Sempat ada penekanan penerjemahan bahwa khitah itu adalah menjaga jarak atau take a distance terhadap partai politik, jadi tidak ke mana-mana. Karena itu, organisasi tidak menerima tokoh-tokoh atau menerima kunjungan partai-partai politik. Namun ternyata perjuangan politik itu penting. Kita membutuhkan juga dukungan partai-partai politik, khususnya dalam proses pengambilan keputusan strategis.
Contohnya?
Misalnya ada undang-undang yang oleh Muhammadiyah dinilai merugikan rakyat, bertentangan dengan konstitusi, terutama sejak era reformasi. Muhammadiyah memprakarsai gerakan jihad konstitusi dengan melakukan judicial review atas UU Migas, UU Sumber Daya Air, Mineral dan Batu Bara, Investasi, Panas Bumi, dan lain-lain.
Bagaimana agar upaya itu tidak diboncengi motif ekonomi dari pihak lain?
Ya, mungkin saja ada berbagai motif atau kepentingan orang-orang yang mendukung upaya judicial review. Bagi saya atau Muhammadiyah, itu tidak jadi masalah selama muaranya sama. Tapi sejauh ini saya menengarai tidak ada motif lain kecuali memang sama bertemu pandangan untuk menegakkan pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945.
Terkait dengan UU Sumber Daya Air, Anda menyebut air kemasan itu haram?
Saya kira ada pengutipan yang tidak utuh. Pernyataan itu terlontar saat saya menyampaikan pidato dalam pembukaan Musyawarah Kerja Nasional Majelis Tarjih di Palembang. Kebetulan salah satu tema yang dibahas adalah fikih tentang air tapi tidak spesifik dalam konteks air kemasan. Tetapi, untuk air kemasan yang dikuasai oleh sebuah perusahaan, apalagi asing, yang mengeruk keuntungan, menyengsarakan rakyat, kemudian merusak lingkungan hidup, menghabisi sumber mata air kita, ya itu bentuk al-fassat, bentuk kerusakan yang oleh agama, oleh Al Quran, itu sangat ditentang. Saya kira, saya tidak sampai menyatakan itu haram mutlak. Sebenarnya ceramah saya pada waktu itu lebih bersifat pertanyaan dan tantangan kepada para ulama serta cendekiawan yang sedang mengikuti munas, mempertimbangkan jika terjadi kerusakan. Karena agama menyuruh menegakkan kebaikan.
"Air kemasan tidak boleh diserahkan ke swasta apalagi swasta asing. Air itu seharusnya dikuasai negara," ungkap Din Syamsuddin dalam Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke 28 di Palembang, Jumat (28/2).
Belum ada tanggapan untuk "Din Syamsudin menyebut air kemasan itu HARAM"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.