Mengapa sih Jakarta selalu banjir? Kini harus diakui jawabnya, salah satunya yaitu sistem drainase yang buruk. Karena ternyata oh ternyata drainase yang berupa gorong-gorong di bawah jalanan di Jakarta sangat kecil dan tua. Kalah dengan daerah. Drainase di sepanjang jalan Sudirman-MH Thamrin misalnya cuma type I alias kelas mikro. Lubang resapan di sisi jalan hanya berdiameter 60 cm. Resapan ini tersambung dengan gorong-gorong di bawah trotoar yang memiliki diameter 80 cm.
“Di bayangan saya, di bawah jalan-jalan di Jakarta gorong-gorongnya besar, bisa untuk sepak bola, tapi kenyataannya cuma 60 cm,” kata Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) geram setelah masuk gorong-gorong di bundaran Hotel Indonesia (HI).
Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta mencatat, curah hujan pada saat itu mencapai 150 mm. Sedangkan drainase berupa gorong-gorong di ruas jalan pusat bisnis di ibu kota itu, hanya memiliki kapasitas 20 mm. Parahnya lagi, gorong-gorong di depan Mal Sarinah merupakan pertemuan gorong-gorong dari Menteng, Kebon Sirih, dan Gondangdia. Pertemuan ini membawa air menuju Sungai Cideng yang terletak di depan Mal Sarinah menuju Pasar Tanah Abang, sehingga serapan di tempat itu harus berpadu dengan arus air yang melintasinya. Terang saja, pada Sabtu itu, jalan MH Thamrin lumpuh. Tidak cuma di Sarinah, jalan-jalan elite lainnya seperti Jalan HR Rasuna Said, sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, Tomang di Jakarta Barat, dan lainnya juga memakai drainase yang sama, kecil dan tua.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, menuturkan, drainase yang tersebar di seluruh Jakarta merupakan sisa pembangunan pada tahun 1970. Pengembangan drainase memang dilakukan, tetapi tidak secara menyeluruh, sedangkan peningkatan curah hujan terjadi secara signifikan. Catatan Dinas PU Jakarta menunjukkan perbaikan drainase Jakarta hanya dilakukan dua kali, pada 2011 dan 2012, itu pun tidak menyeluruh. Pada tahun 2011, dilakukan perbaikan pada 107 titik genangan, antara lain di kawasan Kemang dan Jalan Pangeran Jayakarta. Sedangkan sepanjang 2012 ini perbaikan dilakukan pada empat titik genangan drainase, yakni pertemuan Jalan Sabang dengan Wahid Hasyim (samping Mal Sarinah), pertemuan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Letjen Suprapto, Jalan Pangeran Jayakarta (lanjutan tahun 2011), dan Pasar Pulo Gadung.
Namun perbaikan ini tidak dengan memperbesar saluran-saluran secara keseluruhan. Sistem drainase masih berakhir dengan pembuangan akhir ke-4 saluran air utama di Jakarta, yakni Banjir Kanal Timur, Kali Baru Timur, Banjir Kanal Barat, dan Cengkareng. Lubang pembuangan air pun memiliki volume tidak berubah. Gorong-gorong yang dibangun 40 tahun lalu itu sudah pasti tidak layak dipertahankan. Perbaikan drainase memang harus segera dilakukan. Beban drainase di Jakarta selalu bertambah berat dari tahun ke tahun. Pembangunan gedung tak menyisakan ruang terbuka hijau untuk daerah penyerapan. Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta mencatat hanya ada 9,6% ruang terbuka hijau (RTH) dari kewajiban total penyediaan ruang terbuka hijau 30%. Dari seluruh luas Jakarta, ruang terbuka hijau yang ada hanya 65 ribu hektare.
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan RTH harus disediakan 20% berupa sarana publik seperti taman kota dan 10% adalah privat. Perluasan RTH di Jakarta memiliki kendala karena perluasan 1% RTH membutuhkan anggaran Rp 6,5 triliun jika memperhitungkan harga tanah Rp 1 juta per meter. RTH bagi kota yang memiliki ketinggian tanah rendah seperti Jakarta sangat penting. Harus disadari 40% wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Kota ini membutuhkan fungsi serapan air yang maksimal. Jika tidak memenuhi, maka air hujan harus ditanggung oleh saluran drainase dan sungai, yang gerak airnya lambat. “Dari segi namanya saja, seharusnya semua orang tahu dong, ada yang namanya pakai rawa-rawa itu berarti daerah-daerahnya rawan banjir, yang namanya daerah rawa dibangun, ya banjir. Jadi memang dari segi strukturnya memang rawan,”
Pemprov DKI Jakarta memang sudah berniat melakukan pengembangan drainase. Niat ini mulai dilakukan dengan penerbitan Pergub DKI Jakarta No. 167 Tahun 2012 tentang Ruang Bawah Tanah. Peraturan ini menyebutkan pengelolaan ruang bawah tanah dangkal (kedalaman kurang dari 10 meter) dan ruang bawah tanah dalam (kedalaman lebih dari 10 meter).
Sayang peraturan yang telah diteken Gubernur DKI periode sebelumnya, Fauzi Bowo, itu tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan lain untuk pengelolaan drainase. Kota yang memiliki ketinggian rendah seperti Jakarta harusnya memiliki sistem drainase terpadu lebih baik. Jika tak ingin belajar dari tempat terlalu jauh, paling tidak Jakarta dapat mencontoh gorong-gorong peninggalan Kota Belanda di Kota Yogyakarta. Kota yang terletak di lembah ini lepas dari ancaman banjir dengan pemanfaatan drainase peninggalan Belanda.
Gorong-gorong besar dibangun berpadu dengan kontur tinggi rendah tanah sehingga dapat dipadukan dengan sungai yang melintas di Kota Yogyakarta, Sungai Code. Jaringan gorong-gorong yang membelit Keraton Yogyakarta ini menyambung ke tengah kota diikuti oleh saluran-saluran kecil. Ukuran gorong-gorong ini mencapai lebar sekitar 2,5 meter dan tinggi 4,5 meter, bisa untuk menampung saluran dari berbagai penjuru. Dengan membuat aliran utama bawah tanah ini Yogyakarta menjadi antibanjir. Pastinya banyak konsep kreatif untuk menyusun drainase DKI Jakarta. Namun jangan sampai masalah ini terus berlarut. Hingga warga Jakarta sudah terbiasa menganggap banjir sebagai wisata.
Artikel Terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Mengapa sih Jakarta selalu banjir?"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.