Kebiasaan menggelar rapat tertutup oleh Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk HALAL dipertanyakan. Apalagi, pembahasan draf RUU yang sudah dimulai sejak tahun 2006 itu tidak kunjung rampung. Masalah pemberian sertifikasi HALAL masih menuai sorotan. RUU Jaminan Produk HALAL yang diusulkan atas inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir masa tugas periode 2009-2014.
Selain mengatur mengenai tarif dan PNBP, RUU itu juga akan mengatur mengenai lembaga yang akan memberikan sertifikasi HALAL. Usulan mengenai lembaga inilah yang menciptakan perdebatan panjang di internal Komisi VII maupun dengan pemerintah sehingga akhirnya RUU tersebut tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, perlindungan konsumen di negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia perlu dilakukan. Salah satunya ialah dengan langkah sertifikasi HALAL. Namun, perlindungan konsumen acap kali terbentur persoalan harga sertifikasi.
"Regulasi perlu diperkuat, selain UU perlindungan konsumen dan UU pangan. Cuma memang YLKI juga tidak setuju kalau regulasi (sertifikasi HALAL) diwajibkan," kata pengurus harian YLKI, Tulus Abadi.
Ketidaksetujuan YLKI atas sifat mandatory (wajib) sertifikasi HALAL didasari kekhawatiran akan beban ekonomi yang ditanggung pengusaha. Menurut Tulus, ujung-ujungnya para pengusaha bakal mengalihkan beban ekonomi tersebut kepada konsumen.
Masalah harga untuk mendapatkan label HALAL, diakui Tulus, menjadi salah satu hambatan perlindungan konsumen. Sejauh ini, hanya pengusaha, misalnya pengusaha makanan dan minuman yang besar saja, yang bisa mengantongi label halal. Sementara industri kecil menengah (IKM) sulit secara finansial untuk melabeli produknya dengan cap HALAL.
"Karena, membuat sertifikasi itu umumnya hanya bisa diakses pengusaha besar. MUI itu kan tidak bisa menjangkau ke IKM. Untuk membuat itu kan Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per produk, belum lagi biaya akomodasi," papar Tulus.
Direktur LPPOM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lukmanul Hakim mengatakan, untuk mendapatkan sertifikasi halal dari MUI, perusahaan harus merogoh kocek mulai dari Rp 0 hingga Rp 5 juta per produk, tergantung jenisnya, di luar biaya-biaya lain.
"Standar per sertifikat Rp 1 juta sampai Rp 5 juta untuk perusahaan menengah ke atas, dan untuk perusahaan kecil dan menengah Rp 0 sampai Rp 2,5 juta. Ini di luar dari transportasi dan akomodasi, tergantung besar atau kecilnya perusahaan," kata Lukman, di kantor MUI, Jakarta.
Biaya-biaya untuk mendapatkan sertifikat HALAL, lanjut Lukman, dibebankan ke perusahaan. Biaya tersebut merupakan biaya jasa yang digunakan untuk mengaudit on desk ataupun on site (lapangan).
Hal yang saat ini masih belum rampung dibahas dalam rapat Panja RUU Jaminan produk HALAL adalah soal penerapan sertifikasi. Agar sertifikasi diwajibkan bagi semua produk tanpa terkecuali (mandatory). Di sisi lain, sebagian lagi berpendapat, sertifikasi produk bisa dilakukan secara sukarela, dalam artian, hanya produk yang ingin disertifikasi saja yang mendapatkan jaminan halal (voluntary).
"Saat ini sedang terjadi perbedaan pendapat, soal apakah ini mandatory atau voluntary. Apakah diwajibkan untuk semua produk atau sukarela,".
Masing-masing opsi itu, mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jika mandatory diterapkan misalnya, hal tersebut akan sangat melayani rakyat, khususnya umat Islam.
Seluruh umat Islam nantinya bisa mengetahui apakah suatu produk HALAL atau tidak dengan hanya melihat cap di balik produk tersebut. Namun sistem mandatory ini tidak luput dari kekurangan. Nantinya tidak semua perusahaan mampu dan mau untuk mendaftarkan produknya untuk disertifikasi.
Sementara voluntary akan menguntungkan perusahaan-perusahaan yang menginginkan produk mereka disertifikasi. Dengan begitu, masyarakat tidak ragu untuk membeli produk mereka. Namun kekurangannya, tentu umat Islam tidak akan mendapatkan informasi yang lengkap mengenai semua produk yang ada di pasaran.
Masih ada solusi lain dengan mencari jalan tengah. "Misalnya, perusahaan-perusahaan kecil digratiskan bisa saja. Tetapi semua harus ada cap halalnya biar aman," ujar Raihan. Perdebatan panjang di internal Komisi VII maupun dengan pemerintah sehingga akhirnya RUU tersebut tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
Anggota Komisi VIII DPR, Hasrul Azwar, mengatakan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak pernah melaporkan pendapatan pemberian sertifikasi HALAL. Padahal, pendapatan dari pemberian sertifikasi HALAL masuk ke kantong MUI dan tak dialihkan ke kas negara melalui pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
"Enggak ada (laporan), belum pernah melaporkan. Dan (pendapatan) itu ke kantong MUI," kata Hasrul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Hasrul menjelaskan, pendapatan dari pemberian sertifikasi HALAL seharusnya dikontrol ketat dan dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini merupakan salah satu semangat dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk HALAL yang masih terus dibahas di Komisi VIII.
Saat ini, kata Hasrul, tak ada tarif resmi untuk mendapatkan sertifikasi
HALAL dari MUI. Pihak pemohon sertifikasi itu hanya diwajibkan menanggung seluruh kebutuhan selama proses pemberian sertifikasi dilakukan, seperti biaya akomodasi, transportasi, dan lainnya.
Sampai kapan kontroversi sertifikasi HALAL MUI ini akan berakhir?
Sumber:KOMPAS.
Belum ada tanggapan untuk "Kontroversi sertifikasi HALAL MUI "
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.