Ibu kota RI tercatat dua kali berpindah.
Presiden Sukarno sempat membangun Palangka Raya menjadi calon ibu kota berkelas dunia. Di pemerintahan sekarang,
pemindahan ibu kota masih berkutat pada wacana. 25 September 1945, Belanda yang tak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia melancarkan Agresi Militer I. Pasukan kompeni mendarat di Jakarta dengan cara membonceng sekutu.
Jakarta kocar-kacir dan tidak kondusif. Sebanyak 8.000 orang terbunuh. Bahkan nyawa Perdana Menteri Sutan Sjahrir pun sempat terancam. Dalam kondisi seperti itu, Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX mengirim kurir ke Jakarta. Sultan menawarkan kepada Sukarno-Hatta untuk memindahkan ibu kota ke Yogya karena situasi Jakarta yang gawat.
Sukarno-Hatta akhirnya bersedia menerima tawaran itu. Maka, pada 4 Januari 1946, pindahlah ibu kota Republik ke Yogya. Peristiwa itu tercatat sebagai perpindahan ibu kota RI untuk pertama kalinya ke luar Jakarta. Karena bersejarahnya peristiwa itu, UGM melalui Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri memperingatinya setiap tahun sejak 2007 lalu.
“UGM lahir karena ada Republik Yogya, lahir dan total difasilitasi oleh Keraton Yogya,”
Menurut Soenaryo, Yogya dipilih Sukarno-Hatta karena angkatan perang RI paling kuat berada di kota gudeg. Yogya juga mempunyai pangkalan udara Maguwo (kini Adisutjipto). Selain itu, media komunikasi termasuk radio dan surat kabar tersedia di Yogya. Yang terpenting, Sultan dan Paku Alam berada di barisan pertama pendukung Proklamasi RI. Masyarakat Yogya juga paling siap menyambut kemerdekaan RI.
Khotbah-khotbah Jumat di masjid berisi pengumuman kemerdekaan. “Sore hari, Ki Hajar Dewantara dengan murid-muridnya pawai keliling kota mewartakan kemerdekaan Indonesia,” kata Soenaryo. Selama pemerintahan RI “numpang” di Yogya, kegiatan kabinet dan diplomasi bertempat di Gedung Negara. Sukarno tinggal di Puro Pakualaman, sementara Hatta di Reksobayan. Beberapa perlengkapan kegiatan negara juga meminjam dari keraton.
Itu berlangsung dari tahun 1946 hingga tahun 1949. Pada Desember 1948, setelah Persetujuan Renville ga-gal, Belanda merangsek ke Yogya. Pada masa Agresi Militer II itu, Sukarno-Hatta ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Namun, sebelum Sukarno-Hatta ditawan, keduanya mengirim dua kawat. Kawat pertama ditujukan kepada Mr. A.A. Maramis di India agar merancang pemerintahan RI di pengasingan. Kawat kedua dikirim ke Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang berada di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Sampai tidaknya kawat itu masih kontroversial. Namun, Sjafruddin kemudian membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI berdiri pada 22 Desember 1948, di sebuah kebun teh Halaban, 15 km dari Payakumbuh. Lalu disiarkan melalui radio bahwa pemerintah RI tetap ada dan bersifat mobile. Ibu kota pun otomatis beralih ke Sumbar. Karena Halaban tak aman, Sjafruddin berpindah tempat.
Selama dua minggu lebih, ia menyusuri sungai dan hutan belantara untuk mencari tempat aman. Ia lalu menetapkan Bidar Alam sebagai kedudukan pimpinan pusat PDRI. PDRI berumur sekitar enam bulan 21 hari. Pasca-Yogya dapat direbut dari tangan Belanda, dan Sukarno- Hatta dibebaskan, Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya. Penyerahan kekuasaan itu dilakukan dalam sebuah rapat kabinet tanggal 13 Juli 1949. “Sukarno pada bulan Desember 1949 kembali ke Jakarta,” ujar sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam.
Pasca-1949 itu, tak ada lagi perpindahan ibu kota RI. Namun, pada 1957, Presiden Sukarno sempat ingin memindahkan ibu kota ke wilayah yang tak kalah terpencilnya dari Sumbar. Wilayah baru itu adalah Palangka Raya, yang kini menjadi ibu kota Kalimantan Tengah. Perjalanan Sukarno diawali dari mendarat di Banjar masin. Dari situ ia menyusuri sungai Kayahan menuju Pahandut, Kalteng. Sukarno ditemani dua Duta Besar negara adidaya Amerika Serikat dan Rusia, juga Raja Keraton Surakarta Hadiningrat Sri Sunan Pakubuwono XII.
Rombongan tiba pada 16 Juli 1957 dan menginap selama semalam. Tepat pukul 10.17 WITA keesokan harinya, pemancangan kota Palangka Raya dilakukan. Sukarno mengatakan, Palangka Raya akan dijadikan sebagai ibu kota negara. “‘Kota ini akan kujadikan ibu kota negara’. Itu kata Bung Karno kepada para veteran,” ujar pengajar jurusan arsitektur Universitas Negeri Palangka Raya, Wijanarka kepada majalah detik. Dosen yang juga penulis buku “Sukarno & Desain Rencana ibu kota RI di Palangka Raya”, itu menjelaskan, Bung Karno ingin membangun ibu kota baru yang bebas dari unsur-unsur kolonial. Sedangkan Jakarta jelas merupakan kota peninggalan Belanda. Bung Karno merancang Jakarta hanya sebagai pusat ekonomi. Ditambah pada saat itu terjadi tren pemindahan ibu kota di berbagai negara yang dikunjungi Bung Karno selepas pemilu pertama tahun 1955. Antara lain, Bung Karno sempat berkeliling melihat suasana New Delhi, ibu kota India yang baru. “Palangka itu artinya tempat suci dan besar.
Dalam bahasa kawi berarti tahta,” ujar Wijanarka. Keinginan Sukarno melepaskan bangsa ini dari unsur kolonialisme itu juga diamini sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T. Wardaya. Bahkan, Sukarno sempat mengubah wajah beberapa wilayah Jakarta Selatan menjadi bernuansa pascakolonial. Selain itu, Bung Karno yang berasal dari Blitar, Jawa Timur, tak ingin pembangunan Indonesia bersifat Ja-wasentris. Karenanya ia memilih Kalimantan sebagai ibu kota karena berada di tengah-tengah wilayah Indonesia.
Sebagai arsitek, Sukarno sudah menyiapkan desain untuk calon ibu kota itu. Kota seluas 20 km x 60 km itu dirancang Sukarno dengan sebuah bundaran di pusat kota. Warga Palangka Raya mengenalnya sebagai Simpang Delapan. Delapan mengacu pada delapan jalan ke bundaran dengan jalan utama sebagai sumbu (kini Jl. Yos Sudarso). “Pak Karno senang dengan bundaran, senang dengan sumbu mirip Piazza del Popolo di Italia,” kata Wijanarka.
Dalam arsitektur bangunan, salah satu yang dirancang Sukarno adalah rumah jabatan yang kini menjadi kantor Gubernur Kalteng. Bangunan itu berarsitektur nusantara yang memadukan gaya rumah dari seluruh Indonesia. “Itu mau jadi Istana Negara,” terangnya. Di Jl. Yos Sudarso, Sukarno juga membuat tempat ibadah berupa masjid, gereja, dan pura laiknya di dekat silang Monas. Bangunan itu sebagai simbol kerukunan umat beragama di Indonesia. Tak hanya di Palangka Raya, Bung Karno juga menginginkan Kalimantan dibangun dengan modern.
Alasan Sukarno menyusuri sungai Kayahan karena ia menginginkan Kalimantan dibuat sistem kanal. Namun, cita-cita Bung Karno itu rupanya dihadapkan pada situasi yang sulit. Dua tahun kemudian saat kembali ke Palangka Raya, ia kecewa. Sebab, pembangunan calon ibu kota NKRI itu berjalan lambat. Menurut Wijanarka, bahan-bahan bangunan khususnya batu sangat sulit untuk ditemui di Palangka Raya. Material itu harus diangkut dari Martapura yang jauh letaknya. Selain itu, faktor pekerja yang merupakan militer menjadi kendala juga.
Alhasil, jalan menuju Simpang Delapan baru dibangun enam. Bangunan tempat ibadah yang berhasil didirikan baru pura dan gereja Katolik saja. Total area yang dibuka untuk kota pada saat itu hanya 6 km x 6 km. Situasi politik nasional turut membuat pembangunan ibu kota baru itu terhenti. Demokrasi terpimpin diwarnai perselisihan sengit antar kekuatan di sekitar Sukarno.
Belum ada tanggapan untuk "Presiden Sukarno sempat membangun Palangka Raya"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.