BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. (wikipedia)
Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.
Pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971-1972. Pakto 88 adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. Pemberian izin usaha bank baru yang telah diberhentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88.
|
BLBI sengaja dibuat untuk dibobol atau dipersiapkan untuk dibobol |
Hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Reserve requirement bank lokal dari 15% menjadi 2%. Kebijakan Pakto tersebut menyebabkan peningkatan uang yang beredar di pasar.
Pakto 88 memberikan kemudahan untuk mendirikan bank swasta baru, memberikan izin bagi perusahaan asing untuk beroperasi di luar Jakarta, memberikan kemudahan bagi bank sehat untuk ekspansi (dengan cara memberikan kredit). Dengan kata lain, kebijakan Pakto 1988 merupakan kebijakan agresif untuk ekspansi.
Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, jumlah bank komersial naik 50 persen dari 111 bank pada Maret 1989 menjadi 176 bank pada Maret 1991. Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan juga semakin kompetitif.
Perusahaan yang diberikan kredit pun memiliki kesempatan untuk berkembang secara agresif. Pertumbuhan agresif perusahaan perusahaan di Indonesia menyebabkan tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah tahun 1988.
Pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971-1972. Pakto 88 adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. Pemberian izin usaha bank baru yang telah diberhentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88.
Likuidasi 16 bank merupakan bukti bahwa deregulasi perbankan yang dilancarkan lewat Pakto 88 memang mengandung banyak kelemahan. Berikut sejumlah aturan di sektor perbankan Indonesia. Itulah kata yang tepat tentang kebijakan sektor perbankan Indonesia. Likuidasi 16 bank pada 1 November 1997, misalnya, jelas bertolak belakang dengan Paket Oktober (Pakto) 1988 yang memudahkan siapa saja membuka bank di Indonesia. Berbagai kebijakan yang labelnya adalah "menyehatkan" perbankan Indonesia itu, sejak diluncurkan paket pembenahan pada tahun 1983 sampai sekarang.
Inilah langkah penting deregulasi sektor perbankan di Indonesia. Di dalam Paket Juni (Pakjun) 1983 itu diberikan kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank dalam penyaluran kredit. Deregulasi pertama itu juga memperkenalkan adanya Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan juga Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Pakjun tersebut bertujuan merangsang pertumbuhan perbankan Indonesia. Langkah itu berhasil "menarik" dana masyarakat ke bank secara drastis.
Paket itu adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 milyar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya.
Secara kualitas keberhasilan tampak pada peningkatan sumber daya manusia yang lebih profesional, mutu pelayanan perbankan yang lebih baik, penggunaan perangkat keras dan lunak yang super canggih, juga komunikasi antar pelaku perbankan yang tidak terlalu birokratis.
Untuk mengkoreksi akibat buruk Pakto 88, pemerintah meluncurkan Paktri yang keluar tanggal 28 Pebruari 1991. Yang utama diatur adalah syarat bahwa modal sendiri bank haruslah sebesar 8 % dari seluruh aset. Ketentuan yang lazim disebut CAR (capital adequacy ratio atau perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sebesar 8 persen mengharuskan bank-bank memperkuat modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut bahwa banyak bank yang CAR-nya hanya sekitar 5 persen saja.
Terbitnya paket itu ditandai dengan berbagai kejadian pahit di dunia perbankan Indonesia. Misalnya tragedi Bank Duta yang kolaps gara-gara permainan valuta asing, juga ambruknya Bank Umum Majapahit.
Undang Undang itu lahir pada tanggal 25 Maret 1992 guna menyempurnakan UU nomor 14 tahun 1967. Inti aturan itu adalah meniadakan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Misalnya pemilikan bank oleh pemerintah, swasta dan daerah. Dalam hal pendirian bank baru, UU tersebut mengatur berbagai syarat seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja dan lain-lainnya. Syarat itu ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Melalui Peraturan Pemerintah itu, pemerintah menaikkan modal minimum pendirian bank, dari Rp 10 milyar menjadi Rp 50 Milyar. Langkah itu jelas dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan bank yang nyaris tak terkendali. Pada tahun 1992 tercatat ada bank 17 ribu bank, 8400 di antaranya adalah BPR (bank perkreditan rakyat). Ada sekitar 100 nama baru pemilik bank. Kelihatannya, banyak dana-dana luar negeri yang masuk lewat pasar modal, yang dipakai untuk mendirikan bank di Indonesia.
Akibat sampingannya juga ada, yaitu menjamurnya bank-bank gelap. Agaknya gairah memanfaatkan pertumbuhan bank itu membuka "mata nakal" para spekulan yang tahu benar keinginan nasabah untuk mendapat bunga tabungan atau deposito setinggi-tingginya.
Pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga tahun 1994. Dan itulah yang membuat ekspansi kredit makin gencar. Pada tahun 1995, misalnya, di sektor properti saja sudah dikucurkan kredit sekitar Rp 41 trilyun.
Sementara itu, bank asing juga diizinkan membuka cabang di enam kota besar. Bahkan bentuk patungan bank asing dan swasta nasional juga diizinkan. Dengan demikian, monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara terhapuskan. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena syaratnya kelewat lunak. Meledaknya jumlah bank itu dikuti dengan kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga kerja. Juga dalam hal mobilisasi dana deposito dan tabungan.
Di sisi lain, ada perlombaan sengit untuk mengucurkan kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah kehati-hatian dan keamanan dalam menyalurkan kredit menjadi terabaikan. Akibatnya pasti: kredit macet menggunung.
Ada empat "penyakit" perbankan yang dibawa Pakto 88. Yaitu, bank-bank banyak dikuasai para konglomerat. Di tangan konglomerat, suburlah praktek insider lending alias pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Padahal praktek tersebut terlarang bagi dunia perbankan. Salah satu contoh betapa maraknya praktek insider lending itu adalah ambruknya Bank Summa yang dilikuidasi BI pada tanggal 14 Desember 1992.
"Penyakit" lain adalah tingginya suku bunga. Bahkan ada bank swasta yang berani memasang tarif 30 persen setahun. Suku bunga tidak lagi ditentukan kekuatan pasar, akibat mekanisme kredit makin tidak sempurna dengan adanya alokasi kredit untuk kalangan sendiri. Kredit macet makin tak terkendali. "Penyakit" lain lagi, pemilik bank memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber ekonomi dalam masyarakat. "Penyakit" lainnya, investasi banyak dikucurkan ke sektor mewah, misalnya apartemen, perkantoran mewah, dan lapangan golf. Sesuatu yang dianggap sebagai kemubaziran investasi.
Paktri dinilai kelewat "menekan" dunia perbankan. Untuk mengimbanginya, dikeluarkanlah Pakmei yang intinya melonggarkan aturan soal CAR (capital adequacy ratio) sebesar delapan persen. Antara lain, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun sebelumnya dalam komponen modal sendiri. Aturan sebelumnya, hanya 50 persen saja dari laba tahun lalu yang boleh dimasukkan dalam komponen modal sendiri.
Soal penyaluran kredit juga diatur. Antara lain, pemberian kredit oleh bank bagi grup usahanya diturunkan dari 50 persen menjadi hanya 20 persen dari total kredit yang disalurkan. Ketentuan lain, cadangan minimum turun dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari aktiva lancar. Pelonggaran itu jelas menaikkan kapasitas pemberian kredit.
Penyaluran kredit kecil juga diatur. Pakmei memberikan kebebasan bagi bank untuk memberikan kredit kecil maksimal Rp 25 juta tanpa melihat penggunaannya. Menurut Trenggono, Ketua Perbanas ketika itu, hal tersebut akan mendorong kredit konsumsi yang berlebih.
Sepekan sebelum pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) di Tokyo, pemerintah mengeluarkan Paket Tujuh Juli (Pakjul). Di bidang moneter, paket itu menentukan pembatasan pemberian kredit kredit oleh bank umum kepada perusahaan pengembang properti. Hal tersebut dilakukan karena kredit macet bidang properti sudah kelewat tinggi. Bayangkan, pertumbuhan kredit secara umum antara 23-24 persen, sedang pertumbuhan kredit properti 35 persen.
Sebelum Pakjul, tepatnya 16 April, Bank Indonesia membuat penentuan tentang reserve requirement (cadangan wajib minimum bagi perbankan) dari 3 persen menjadi 5 persen. Pada bulan September keluar kebijakan penundaan terhadap mega proyek. Langkah itu diharapkan mampu mengurangi impor barang oleh pihak swasta. Seperti diketahui, di tengah lilitan kredit macet, bank-bank masih punya beban untuk menanggung proyek-proyek swasta dengan dana raksasa.
Pengumuman tersebut merupakan puncak tragedi di sektor perbankan. Likuidasi serempak terhadap 16 bank telah menjawab rumor yang sejak lama beredar di Jakarta. Sejumlah bank lain akan melakukan merger. Pertanyaan selanjutnya, apakah benar pernyataan BI bahwa tak akan ada lagi bank yang dilikuidasi. Dikutip dari berbagai sumber. Setelah tahun 1997 masih ada yakni Bank Century.
Belum ada tanggapan untuk "BLBI sengaja dibuat untuk dibobol atau dipersiapkan untuk dibobol"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.