Quick count alias hitung cepat adalah metode statistika yang dipakai buat memprediksi hasil pemilu yang semestinya mencerminkan hasil penghitungan resmi yang mungkin lebih lama prosesnya. Ketua Badan Pengawas Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Rustam Ibrahim mengatakan hitung cepat juga bermanfaat buat mencegah adanya kecurangan, sehingga masyarakat tenang dan percaya pada hasil penghitungan akhir oleh Komisi Pemilihan Umum. “Kalau tidak ada apa-apa, semestinya hasil akhir sama dengan real count KPU.”
Bagaimana dengan hasil quick count pilpres 9 Juli kemarin
Pilpres 9 Juli telah berlalu, lembaga survey quick count telah mengeluarkan hasilnya. Tetapi ada yang janggal bahwa lembaga survei dengan hasil hitung cepat yang memenangkan capres no urut 1 Prabowo-Hatta punya rekam jejak yang tidak meyakinkan. Mulai punya kedekatan dengan kandidat, dan berkali-kali meleset risetnya, hingga menyebarkan selebaran gelap.
Puskaptis (Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis) merupakan salah satu lembaga survey Quick Count yang memenangkan pasangan No Urut 1. Tahukah ANDA tentang Track record Puskaptis ini? sebagai lembaga survei politik Puskaptis sangat meragukan, berikut beberapa kesalahan prediksi Puskaptis.
1. Hasil Pilkada Sumatera Selatan
Puskaptis memprediksi Alex Noerdin-Eddy Yusuf akan memperoleh suara sebesar 48,89 persen dan Syahrial Oesman-Helmi Yahya memperoleh 51,11 persen. Survei itu dilaksanakan pada 28 Juni hingga 10 Juli 2008 lalu dengan 6.455 responden di 15 kabupaten dan kota di Sumsel.
Sementara, hasil perhitungan akhir KPU menunjukkan Alex Noerdin sebagai pemenang dengan perolehan 51,4 persen dan Syarial Oesman sebesar 48, 6 persen.
2. Hasil Pilkada Jawa Barat
Puskaptis memperkirakan Danny Setiawan akan memenangi Pilkada dengan perolehan suara 42, 89 %, Agum Gumelar 34,65 %, dan Ahmad Heryawan 22,46. Survei tersebut dilakukan pada 28 Maret-6 April 2008 pada 603 kecamatan di 26 kabupaten/kota di Jabar dengan responden sebanyak 15.102 orang. Metode yang digunakan secara random sampling dengan margin of error 3-5 persen dan tingkat kebenarannya 95 persen.
Sementara, hasil perhitungan akhir KPU menunjukkan Ahmad Heryawan - Dede Yusuf berhasil memenangi Pilkada. H. Ahmad Heryawan-H. Dede Yusuf (Hade) dengan perolehan suara 7.287.647 suara; H. Agum Gumelar-H. Nu'man Abdul Hakim (Aman) 6.217.557 suara dan H. Danny Setiawan-H. Iwan Sulanjana (Da'i) memperoleh 4.490.901 suara.
3. Hasil Pemilu Legislatif 2009
Puskaptis juga salah dalam memprediksi hasil pemilu legislatif. PDIP mendapatkan dukungan 19,60 persen, PD (19,18), Golkar (18,26), PKS (8,78), PPP (3,50), Gerindra (2,46), PAN (2,16), PKB (1,67), Hanura (1,35), PBB (0,35), dan PDS (0,19 persen). Survei tersebut dilakukan pada 16-24 Maret 2009. Survei itu melibatkan 1.250 responden yang tersebar di 33 provinsi, 75 kabupaten, 300 kecamatan, 600 desa / kelurahan dengan margin error 3 persen dan tingkat keyakinan 95 persen.
Sementara, hasil real count KPU menunjukkan, PD memperoleh suara 20,85%, Partai Golkar 14,45%, PDI P 14,03%, PKS 7,88%, dan PAN 6,01%.
Di Palembang dihebohkan oleh penangkapan empat orang penyebar selebaran gelap oleh Kepolisian Resort Prabumulih. Empat orang yang dicokok itu kedapatan menyimpan enam kardus selebaran rumor pernikahan siri calon wali kota Ridho Yahya dengan perempuan pegawai negeri, yang konon juga dihadiahi Toyota Alphard. Yang menghebohkan media massa lokal selama pekan terakhir Februari 2013 itu, tiga dari yang ditangkap ternyata karyawan perusahaan konsultan politik pasangan calon H M. Zulfan Ahmad Palo. Rahmad Junaidi asal Medan serta Nurdin dan Hadiyasa Norman dari Jakarta disebut bekerja untuk Jaringan Suara Indonesia (JSI).
Kepada penyidik, Rahmad Junaidi mengaku disuruh Popon Lingga Geni, Direktur Pemenangan JSI. Kisah penangkapan anak buah Popon itu menjadi satu lembaran hitam dalam rekam jejak JSI, yang kini tengah disorot karena hasil hitung cepat pemilihan presiden 2014. JSI, Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), serta Indonesia Research Centre (IRC)merilis hasil hitung cepat (quick count) yang menyatakan Prabowo-Hatta unggul. Penghitungan mereka berlawanan dengan hasil hitung cepat delapan lembaga survei lainnya, yang menyebut Joko Widodo-Jusuf Kalla memimpin perolehan suara.
Bukan pertama kalinya hasil riset politik JSI menjadi kontroversi
Pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta, JSI pada 6 Juli 2012 atau lima hari sebelum pencoblosan mengumumkan temuan menurunnya dukungan terhadap Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama hingga menjadi hanya 15,8 persen. Sementara itu, perolehan suara pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli diprediksi melonjak jadi 49,6 persen. “Ada kemungkinan pilkada itu akan terjadi satu putaran,” kata Direktur Eksekutif JSI, Widdi Aswindi, ketika itu. “Bisa katakan bahwa yang paling besar itu akan ke Pak Fauzi Bowo.”
Fauzi Bowo alias Foke ternyata berlangganan jasa JSI dan secara rutin menerima laporan survei kepercayaan serta kepuasan publik terhadap kinerjanya. JSI juga menjadi konsultan politik Foke pada pemilihan gubernur. Nahas bagi Foke, survei JSI ternyata meleset. Hitung cepat JSI menunjukkan justru Jokowi meraup 41,97 persen suara, sedangkan Foke hanya 34,42 persen. Sejarah mencatat, pemilihan masuk ke putaran kedua, yang dimenangi oleh Jokowi-Ahok.
|
Foke - Nara |
Ketika pemilihan Gubernur Ibu Kota tengah panas-panasnya itu, JSI menggelar survei soal pemilihan anggota legislatif dan presiden 2014. Hasilnya, yang diumumkan pada Agustus 2012, perolehan suara Partai Amanat Nasional diprediksi berada di atas Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Nasional Demokrat. Sedangkan tiga besar masih diisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, dan Demokrat.
Naiknya elektabilitas PAN, kata JSI, karena faktor Ketua Umum Hatta Rajasa, yang kinerjanya baik sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Bahkan JSI menempatkan Hatta sebagai calon presiden terpopuler kedua, setelah Prabowo Subianto. Ketika itu
Jokowi memang belum masuk hitungan karena masih bertarung di Jakarta.
Survei soal PAN ini memang diselenggarakan JSI karena kedekatan lembaga itu dengan Hatta. Para penggiat survei politik membisikkan, JSI memang beberapa kali terlibat dalam pemenangan Hatta dan kadernya. Hasil riset JSI sebenarnya tidak selalu meleset. Bahkan pada 2010 lembaga survei ini memecahkan rekor selisih antara quick count dan real count terkecil, yang sebelumnya dipegang Lingkaran Survei Indonesia dengan 0,05 persen.
Museum Rekor Dunia Indonesia mencatat JSI hanya berselisih 0,01 persen dengan hasil rekapitulasi suara pemilihan Bupati Konawe Utara versi Komisi Pemilihan Umum. Widdi juga bukan orang baru di dunia riset. Sebelum mendirikan JSI pada 2008, Widdi adalah Direktur Strategi Lingkaran Survei. Ia menggandeng Direktur Riset Lingkaran Survei Eka Kusmayadi, membuat JSI. Alumnus Jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung cum Ketua Satgas Mahasiswa ITB pada 1998 ini juga sempat mengajar soal opini publik di Sekolah Staf dan Pimpinan Polri.
Selain mengurusi JSI, Widdi berbisnis pertambangan dengan bendera PT Wijaya Inti Nusantara di Sulawesi dan mendirikan perusahaan konsultan sistem informasi industri migas, PT BIA Energy, yang berkantor di Jakarta Selatan. Widdi bukan satu-satunya “aktivis 1998” di JSI. Popon, alumnus Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta, juga aktif di gerakan kemahasiswaan pada 1998.
Pada 21 Juni 2014, aktivis Kiat 98, Ubedilah Badrun, menyebut Popon termasuk aktivis mahasiswa 1998 yang menyokong pasangan Prabowo-Hatta. Seperti Popon, Widdi mendukung Prabowo. Kamis, 10 Juli 2014, majalah detik menyambangi kantor JSI, Jalan Warung Jati Timur Nomor 8-AS. Gerbang gedung dua lantai bercat putih itu tertutup rapat.
Beberapa mobil dan sepeda motor terparkir, tapi seorang lelaki yang memakai kaus putih bergambar Prabowo-Hatta mengatakan kantor itu kosong. “Tidak ada kegiatan karena masih lelah setelah hitung cepat,” ujarnya sembari meminta agar kembali pada Senin, 14 Juli 2014. Penanggung jawab akademik Indonesia Research Centre (IRC), Yunita Mandolang, juga tidak berkantor setelah keriuhan hitung cepat. Ia mengaku otot pahanya cedera. Dalam surat elektronik kepada majalah detik, Yunita membanggakan hasil surveinya yang akurat soal kemenangan I Made Mangku Pastika sebagai Gubernur Bali dan pasangan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat. Pada pemilu legislatif, hasil hitung cepat IRC mengenai perolehan suara PDIP hanya berbeda 0,01 persen dari penghitungan resmi KPU.
Sementara itu, pada pemilihan presiden 2014, Yunita menyatakan hitung cepat mereka didanai oleh media milik Hary Tanoesoedibjo, yakni RCTI, Global TV, dan Sindo TV. Hary, yang menjadi bagian dari tim sukses Prabowo-Hatta, membiayai IRC karena lembaga survei itu masih di bawah payung perusahaannya, MNC Group. Saat mendaftar sebagai lembaga survei resmi Pemilu 2014 ke KPU, IRC menyatakan nama resminya adalah PT Pusat Riset Indonesia. Pemimpin IRC disebut-sebut Arya Mahendra Sinulingga, yang juga Pemimpin Redaksi RCTI. Seorang mantan peneliti IRC bercerita, lembaga survei itu sebelumnya bernama MNC Media Research. “Dulu survei lebih dominan untuk medianya dan beberapa kali saja survei politik,” ujarnya.
Namun, karena meningkatnya kebutuhan survei, akhirnya dibuat perahu bisnis baru, yakni IRC. Kantornya tetap di MNC Tower di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, tepatnya di lantai 26 atau tiga lantai di bawah kantor Hary Tanoe. Peneliti itu sendiri tidak kerasan di IRC karena tidak sreg dengan metode penentuan responden dan sampel yang subyektif serta serampangan. “Ada beberapa tahapan dan poin yang saya rasakan hilang dan belum dilaksanakan,” ujarnya. Riset IRC sempat dipertanyakan ketika menelisik elektabilitas calon presiden. Pada 21 Oktober 2013, IRC menyebut elektabilitas pasangan Wiranto-Hary Tanoesoedibjo berada di bawah Jokowi, namun lebih populer ketimbang Prabowo Subianto.
Yang janggal, Wiranto-Hary merupakan satu-satunya yang dimasukkan secara berpasangan. Data yang dipublikasikan itu juga ternyata baru berdasarkan 30 persen data responden. Pada 1 November 2013, survei yang sama dibuka lagi, tapi basis datanya pun baru 50 persen dari total responden.
Berbeda dengan JSI dan IRC, LSN terbilang gencar merilis survei soal elektabilitas Prabowo-Hatta. LSN, yang didirikan Umar Bakry pada 17 Juli 2006, menjelang pemilihan presiden menyebut elektabilitas Prabowo-Hatta 46,6 persen, sementara Jokowi-JK turun ke 39,9 persen. Padahal mayoritas lembaga survei hanya menyebut jarak di antara kedua kandidat menipis, namun Jokowi tetap di atas. LSN menyatakan kenaikan elektabilitas itu karena Prabowo banyak mendapat suara dari daerah padat penduduk, seperti Jawa, Bali, Sumatera, dan Nusa Tenggara.
Sayangnya, ketika mengumumkan hasil hitung cepat yang menyatakan Prabowo unggul, LSN tidak menyertakan data per provinsi. Namun data hitung cepat RRI menunjukkan dasar survei LSN itu meragukan, karena justru Jokowi-JK mendominasi daerah yang disebut LSN sebagai kantong suara Prabowo, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Utara.
Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Hamdi Muluk, mencurigai survei-survei LSN yang kerap bermetode survei cepat tanpa turun ke lapangan. Itu juga terlihat dari dananya yang di bawah Rp 100 juta, yang dianggap terlalu kecil buat penelitian lapangan. Hamdi berpendapat survei seharusnya mengambil data di lapangan. Namun, dari semua lembaga tadi, yang dianggap Hamdi paling bermasalah adalah Puskaptis. “Memang Puskaptis itu hasilnya sering aneh sendiri dan yang paling terheboh saya kira kasus pemilihan Gubernur Sumatera Selatan,” kata guru besar psikologi politik Universitas Indonesia ini.
Sengkarut kasus Puskaptis di Sumatera Selatan diawali pada pemilihan gubernur pada 2008. Ketika itu Puskaptis mempublikasikan hasil hitung cepat yang berbeda dengan Lembaga Survei Indonesia. Puskaptis berkali-kali merilis survei yang menyatakan pasangan calon Syahrial Oesman-Helmi Yahya bakal memenangi pemilihan gubernur. Ketika mengumumkan hitung cepat, Puskaptis menyebut Syahrial unggul dengan perolehan 51,11 persen, sedangkan Alex Noerdin-Eddy Yusuf hanya 48,8 persen. Sebaliknya, hasil hitung cepat Lembaga Survei Indonesia menyebut Alex Noerdin memperoleh 51 persen suara, sementara Syahrial 49 persen. Belakangan, Alex-lah yang dinyatakan KPU sebagai pemenang.
Sekretaris Jenderal Persepi Yunarto Wijaya mengatakan saat itu hasil hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia menguatkan Lembaga Survei Indonesia. “Sehingga terjadi demo di KPU dan tudingan adanya kecurangan,” ujarnya. Kekisruhan akibat hitung cepat Puskaptis terulang di Sumatera Selatan pada 4 September 2013. Saat data mencapai 92 persen dengan suara Herman Deru-Maphilinda Boer 41,55 persen dan Alex Noerdin-Ishak Mekki tertinggal 38,70 persen, mendadak layar monitor hitung cepat mati. Saat monitor di markas Puskaptis di Hotel Grand Zuri Palembang menyala lagi, Alex berbalik unggul.
Menganggap ada permainan data, massa kubu Herman menggeruduk markas Puskaptis itu. Demi mencegah Husin jadi korban amukan massa, dia dibawa polisi ke Markas Polresta Palembang. Husin membantah adanya manipulasi. “Setelah dihitung KPU, benar tuh Pak Alex menang, dibawa ke MK benar tuh Alex menang. Apakah saya salah?” kata Husin saat ditemui majalah detik. Andrinof Chaniago mencatat bukan kali itu saja Puskaptis bermasalah.
Pada Pemilu 2009, Puskaptis sempat dipanggil ke sidang Dewan Etik Persepi di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, namun mangkir. Persepi mempermasalahkan survei Puskaptis yang menyatakan PDI Perjuangan berada di urutan terdepan karena dipilih oleh 37 persen dan Partai Demokrat di belakangnya dengan 28 persen. Data itu dianggap Andrinof janggal karena lembaga survei lainnya tidak mendapati angka keterpilihan partai di atas 30 persen. Ia mencontohkan hasil hitung Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Demokrat tertinggi dengan 24 persen. “Yang lucu lagi, PKB dan PPP enggak ada. Nol pemilih,” ujarnya. Menurut Andrinof, yang lebih membingungkan adalah penjelasan metodologinya.
Saat itu Puskaptis menyebut jumlah responden atau sampel 2.200, yang didapat dari 2.600 desa dan kelurahan. “Masak jumlah desa sampelnya lebih banyak dari respondennya. Apa badan orang dibagi sebelah-sebelah?” Data sampel itu janggal karena biasanya satu desa bisa diambil lima atau sepuluh responden. Artinya, menurut dia, jumlah desa sampel harus jauh lebih kecil ketimbang jumlah responden. Jika respondennya 2.200 orang, jumlah desanya 220. “Ini menandakan orang ini tidak mengerti survei,” kata Andrinof. Sumber:majalahdetik.
Belum ada tanggapan untuk "Membedah Quick Count"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.