Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diimbau agar berani menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Dengan beban subsidi BBM Rp 246 triliun dan subsidi listrik Rp 104 triliun tahun ini, APBN benar-benar terancam dan kurang memiliki daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi. Presiden SBY dinilai tidak memiliki beban politik apa pun, sehingga langkah menaikkan harga BBM dapat meringankan beban pemerintahan baru.
Pengamat ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latief Adam menyatakan, kebijakan pengurangan subsidi BBM sebaiknya dilakukan pemerintahan SBY sehingga meringankan pemerintahan baru. Subsidi BBM dalam APBN-P yang mencapai Rp 246,5 triliun sangat membebani anggaran dan membatasi alokasi anggaran untuk sektor strategis seperti infrastruktur, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kualitas SDM.
“Dalam catatan sejarah kenaikan harga BBM selalu dilakukan saat pemerintahan baru berkuasa, bukan di saat akhir. Ini harus diubah, Presiden SBY harus meninggalkan legacy yang baik buat pemerintahan mendatang,” kata Latief di Jakarta, Latief menilai, keengganan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM saat ini perlu dipertanyakan.
Sebab, SBY bukan lagi sebagai kandidat capres sehingga tidak perlu mengutamakan pencitraan dalam mengambil keputusan sebuah kebijakan yang sifatnya substantif. “Political consideration harusnya sudah tidak terlalu dominan dalam mengambil keputusan, karena SBY posisinya sekarang nothing to loose,” ujarnya. Terlebih lagi dari sisi ekonomi, lanjut dia, berdasarkan analisis BI, fundamental perekonomian cukup baik, yang tercermin pada tingkat inflasi yang rendah. Keberanian mengurangi subsidi BBM juga bisa dipakai untuk menguji dua pasang capres-cawapres yang mengklaim komit menekan jumlah BBM bersubsidi. Latief menilai, keraguan SBY untuk mengurangi subsidi BBM saat ini disebabkan dua faktor.
Pengurangan subsidi BBM
Pertama, dari sisi analisis biaya manfaat, pengurangan subsidi BBM akan meningkatkan inflasi sehingga menambah jumlah orang miskin. Padahal, kesuksesan seorang presiden dikaitkan dengan kemampuannya mengurangi angka kemiskinan. Partai Demokrat sebagai basis politik SBY tentu akan berjuang meraih kemenangan dalam Pilpres 2019.
Faktor kedua, pemerintah belum menyiapkan kebijakan serta instrumen kompensasi kenaikan harga BBM untuk meredam peningkatan jumlah orang miskin baru. Kebijakan mengurangi subsidi BBM harus diikuti dengan dua kebijakan lanjutan yaitu pengembangan energi alternatif dan menyiapkan transportasi publik. Dia menyatakan pula bahwa harga BBM cenderung inelastis. Artinya, ketika harga naik, konsumsi tetap saja tetap meningkat. “Kalau melihat 2013, konsumen hanya shock sekitar 3 bulan ketika harga BBM naik. Tapi setelah tingkat penerimaannya menyesuaikan, konsumsi kembali seperti semula,” ujarnya.
Momentum
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Aziz juga setuju jika Presiden SBY menaikkan harga BBM, karena momentumnya pas. Menjelang berakhirnya masa jabatan, Presiden SBY sebaiknya bisa mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM, tanpa beban politik apa pun. Presiden terpilih pun harus proaktif mengomunikasikan kenaikan harga BBM, mengingat APBN sudah tidak bisa lagi menanggung beban subsidi yang sangat besar. Berpendapat senada, ekonom Citi Research Helmi Arman menyatakan, pencabutan subsidi BBM perlu dilakukan segera.
Dia mengatakan, siapa pun capres yang terpilih akan terbentur masalah besaran subsidi BBM yang menggunung. Apalagi, tantangan yang dihadapi pada 2015 kian besar dengan berlakunya masyarakat ekonomi Asean (MEA).
Menurut Helmi Arman, presiden baru harus mampu mengeluarkan reformasi kebijakan yang lebih segar atau berbeda dari kebijakan pemerintahan sebelumnya. Reformasi kebijakan yang dibutuhkan adalah mengendalikan subsidi BBM. “Cara mengendalikan subsidi BBM harus fokus pada satu kebijakan apakah menaikkan harga BBM atau melakukan konversi BBM ke BBG,” ujarnya. CEO Bosowa Corporation Erwin Aksa mengatakan, subsidi BBM telah menggerogoti keuangan Indonesia. Konsumsi melonjak dan impor minyak/BBM kian tinggi. Di lain sisi, produksi dan lifting minyak mentah terus turun.
Ekonom Bank BCA David Sumual mengatakan, salah satu permasalahan utama ekonomi Indonesia adalah defisit kembar (twin defisit), yaitu tingginya defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran. Kedua defisit tersebut terutama dipicu oleh tingginya impor BBM, sementara kinerja ekspor stagnan. Satu-satunya cara menurunkan defisit transaksi berjalan dan menyehatkan anggaran adalah dengan mengendalikan BBM bersubsidi. Cara ampuh mengendalikan BBM bersubsidi adalah menaikkan harganya.
David menjelaskan, jika SBY menaikkan harga BBM, pemerintahan baru sudah tidak mempunyai beban terlalu berat sehingga bisa lebih fokus pada pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, dan memangkas kemiskinan. Pengamat ekonomi Samuel Sekuritas dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menilai, sangat sulit bagi pemerintahan SBY untuk menaikkan harga BBM karena masa pemerintahannya hanya sampai Oktober. Kenaikan harga BBM merupakan kebijakan yang tidak gampang karena harus diikuti program kompensasi bagi masyarakat kurang mampu, seperti dengan bantuan langsung. Sumber: SP
Artikel Terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Presiden SBY diimbau menaikkan harga BBM"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.