Namun, penurunan BI rate sulit dilakukan dalam waktu dekat, seiring terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ini merupakan imbas dari defisit neraca perdagangan pada April 2014 sebesar US$ 1,9 miliar.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang UKM dan Koperasi Erwin Aksa menuturkan, BI Rate yang tinggi memengaruhi penyaluran kredit ke sektor riil. Alhasil, sebagian pebisnis menunda rencana ekspansi. “Tapi, BI Rate bukan satu-satunya faktor.
Saat ini, beberapa investor menunggu hasil pilpres sebelum mengeksekusi rencana bisnis,” ujar Erwin, di Jakarta, akhir pekan lalu. Erwin mengatakan, Bank Indonesia tentunya memperhitungkan sejumlah faktor dalam menentukan BI Rate. Salah satunya pergerakan kurs rupiah terhadap dolar AS.
Rupiah melemah dari level Rp 11.200 pada 1 April 2014 menjadi Rp 11.800 per dolar AS pekan lalu. “Untuk menjaga nilai tukar rupiah, ekspor harus digenjot, sedangkan impor harus dipangkas,” kata Erwin yang juga CEO Bosowa Corporation.
Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Franciscus Welirang menilai, perlambatan ekonomi bukan semata- mata dipicu tingginya BI Rate. Perlambatan saat ini lebih dipicu pemangkasan anggaran pemerintah seiring tingginya subsidi bahan bakar minyak (BBM). “Pemerintah berencana memangkas belanja infrastruktur demi menyelamatkan APBN. Jadi, perlambatan ini secara tidak langsung disebabkan oleh kebijakan pemerintah,” ujar pria yang biasa disapa Franky ini.
Masih Solid
Franky menilai, selisih harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi terlalu tinggi. Harga Pertamax saat ini sekitar Rp 10.900 per liter, sedangkan premium Rp 6.500 per liter. Keadaan ini membuat subsidi BBM terus membengkak. Hal ini diperparah dengan masih tingginya ketergantungan pemerintah terhadap BBM impor.
Secara umum, dia menilai, ekonomi Indonesia masih cukup solid. Buktinya, cadangan devisa per Mei 2014 mencapai US$ 107 miliar. Melihat fakta ini, rupiah seharusnya tidak melemah. “Ada faktor lain yang membuat rupiah melemah. Bisa saja orang menahan melepas dolar,” kata dia. Dalam pandangan direktur PT Indofood Sukses Makmur Internasional Tbk (INDF) itu, defisit neraca perdagangan pada April 2014 hanya sementara.
Sebab, hal itu salah satunya dipicu penurunan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang mencapai US$ 700 juta. Penurunan itu, kata dia, diperkirakan tidak berlangsung hingga akhir tahun. Ekspor CPO turun karena sebagian pengusaha sawit mengubah (shifting) waktu ekspor. Artinya, dalam bulan-bulan berikutnya, ekspor CPO bisa kembali menguat, sehingga tekanan terhadap neraca perdagangan bisa berkurang.
Pengamat ekonomi dari Bank BCA David Sumual mengatakan, ada tiga alasan utama mengapa Bank Indonesia masih mempertahankan posisi BI Rate di level 7,5%. Sumber:SP
Artikel Terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Kalangan pengusaha minta BI rate agar segera diturunkan"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.