Berakhirnya trend surplus neraca perdagangan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menurun, dari 6,9% pada kuartal IV-2010 menjadi tinggal 5,2% kuartal I-2014. Untuk mendongkrak kembali
pertumbuhan ekonomi dan mencegah
ledakan pengangguran, investasi harus digenjot dengan cara BI Rate diturunkan, insentif pajak dipermudah, dan pembangunan infrastruktur dipercepat.
Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2014, yang hanya 5,2% (year on year), meleset jauh bawah target pemerintah dalam APBN 2014 sebesar 6%. Padahal, untuk bisa menuntaskan masalah pengangguran, pertumbuhan ekonomi harus di atas 7%. Pengamat Ekonomi dari Indef Enny Sri Hartati mengatakan, Bank Indonesia (BI) perlu segera menurunkan BI Rate untuk melonggarkan likuiditas. Suku bunga acuan itu kini dipatok tinggi sebesar 7,5%. “Nah, kalau pertumbuhan ekonomi sedang turun, seharusnya dilakukan pelonggaran likuiditas untuk menggenjot investasi, bukan pengetatan likuiditas.
BI perlu segera menurunkan suku bunganya minimum 25 basis poin (bps), sehingga bisa kembali mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga level 5,5%-5,7% tahun ini,” kata Enny, di Jakarta. Seperti Amerika Serikat (AS) misalnya, untuk memulihkan pertumbuhan ekonominya, suku bunga ditekan serendah-rendahnya hampir mendekati 0% dan stimulus moneter digelontorkan besar-besaran. Demikian pula pula yang dilakukan Jepang. Tiongkok pun mulai melonggarkan kembali likuiditasnya untuk menjaga pertumbuhan ekonominya minimal 7,5%.
Apalagi, kata Enny, penaikan BI Rate itu kurang efektif dalam sasarannya untuk meredam penurunan nilai tukar rupiah, tetapi sudah sangat menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar rupiah pun cenderung kembali terus merosot. Jika pada 1 April 2014 kurs masih Rp 11.271 per dolar AS, kemarin sudah mencapai Rp 11.810 per dolar AS.
Dalam kondisi seperti saat ini, lanjut Enny, peranan BI yang biasanya menjaga keseimbangan inflasi dan nilai tukar rupiah patut dipertanyakan efektivitasnya.
Apalagi, hal itu membawa pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. “Bisa jadi pengetatan BI Rate sekarang terkait dengan upaya menjaga nilai tukar rupiah, yang mengiming-imingkan suku bunga tinggi bagi investor. Tapi, ketika rupiah dijaga, berapa ‘pengorbanan’ untuk pertumbuhan? Itu yang perlu dievaluasi,” ujar dia.
Menurut dia, seharusnya, saat BI menjaga suku bunganya tetap tinggi, pemerintah harus segera meresponsnya dengan mengendalikan impor dan memberi insentif untuk memacu sektor riil. Namun, yang terjadi, pemerintah tidak merespons kebijakan BI tersebut. “Kalau BI sudah mengerem tapi pemerintahnya nggak ngegas, atau sebaliknya sudah tahu tak ada yang ngegas, BI nggak usah mengerem dengan menaikkan BI Rate,” tandasnya. Selain itu, dia berharap, dalam lima bulan ke depan pemerintah meningkatkan pendapatan perpajakan agar bisa menambah belanja modal.
Caranya dengan meningkatkan tax ratio ke level 20% dari level sekarang 12%. Apalagi, Indonesia pernah memiliki tax ratio 13%. “Kita butuh peningkatan ke level 20% seperti negara-negara tetangga, yaitu Thailand dan Malaysia. Sebab, kalau 12% saja itu menggambarkan masih terjadi banyak kebocoran di sektor pajak. Dengan menambal kebocoran, otomatis pendapatan negara akan bertambah,” kata dia.
Subsidi BBM
Pengamat Ekonomi dari Indef Enny Sri Hartati mengatakan, langkah selanjutnya pemerintah bisa mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM). Penghematan dari subsidi ini sebagian bisa digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, yang akan meningkatkan investasi maupun pertumbuhan ekonomi.
Minimnya infrastruktur ini menghambat optimalisasi investasi dan pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, Enny mengatakan, pemerintah perlu menggerakkan kembali industri yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Kalau pun pertumbuhan ekonomi rendah tapi yang ‘bergerak’ industri, banyak tenaga kerja terserap. Pengamat ekonomi dari FEUI Lana Soelistianingsih mengatakan, kalau pemerintah mau merealisasikan seluruh pembangunan infrastruktur, pasti menyerap banyak tenaga kerja.
Sektor ini juga mempunyai multiplier effect sehingga ekonomi bisa tumbuh 5,8%. “Tapi pertumbuhan 5,8% itu baru bisa tahun depan. Kalau dalam lima bulan ke depan, hingga pemerintahan Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir, sangat sulit,” ujarnya. Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi yang melambat saat ini karena by desain.
Hal itu dilakukan melalui kebijakan pemerintah untuk mengurangi impor bahan baku dan barang modal sejak Agustus 2013 lalu. “Agustus 2013, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk mengurangi impor, padahal industri kita masih sangat bergantung pada bahan baku impor.
Akibat dikurangi bahan bakunya, produksi menjadi berkurang,” ujarnya. Meski pesimistis pemerintah bisa memperbaiki kebijakan ini dalam lima bulan ke depan, ekonomi Indonesia masih bisa sedikit tumbuh lebih baik apabila pemerintah mulai menggerakkan sektor infrastruktur, yang kemudian membawa banyak pengaruh positif ke pertumbuhan sektor-sektor lain.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam lima bulan ke depan, menurut Lana, pemerintah perlu memaksimalkan penyerapan anggaran, terutama serapan belanja modal. Hal ini harus dilakukan agar pertumbuhan ekonomi tidak jebol di bawah 5,3%. “Solusi lain datang dari presiden terpilih.
Kalau sesuai dengan ekspektasi investor akan disambut positif melalui investasi dan ini pun hanya bisa mendorong ke 5,6%” ungkap dia. Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, suku bunga BI harus dijaga tetap pada level saat ini. Menurut dia, menaikkan atau menurunkan BI Rate saat ini bukan waktu yang tepat. “Kalau suku bunga BI diturunkan, nanti orang-orang akan merasa ekonomi kita sudah kuat. Padahal, saat ini, defisit anggaran kita masih cukup tinggi,” kata Sofjan. Sumber:SP
Belum ada tanggapan untuk "Agar dongkrak pertumbuhan ekonomi BI rate harus diturunkan"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.