INDONESIA mungkin miskin produksi gas untuk memasak alias miskin elpiji. Gas yang dijual dalam tabung-tabung itu sedikit yang merupakan hasil tambang di negeri sendiri. Gas itu lebih banyak didatangkan dari luar negeri, seperti Qatar.
Indonesia kaya gas tetapi menjadi raja impor gas.
Kepala Satuan Kerja Sementara Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Johanes Widjonarko, mengatakan sekitar 60 persen kebutuhan elpiji masih diimpor. “Kalau elpiji itu kan ekstrak, ya,” katanya. “Dan tidak setiap kandungan elpiji, yakni C-3 dan C-4, ada di dalam gas alam.” Maka sudah bertahun-tahun Indonesia mengimpor elpiji dari Qatar.
Tapi untuk urusan gas alam di luar elpiji, Indonesia sangat kaya. Bahkan bertahun-tahun negeri ini menjadi pengekspor LNG gas bentuk cair terbesar di dunia. Kementerian ESDM mencatat potensi gas bumi yang dimiliki Indonesia mencapai 170 triliun kaki kubik (TSCF). Jumlah sebesar ini, dalam perhitungan pemerintah, bisa dipanen sampai 59 tahun ke depan, tidak seperti minyak bumi, yang tinggal belasan tahun mendatang usianya. “Gas alam cair Indonesia berlimpah dan untuk pasokan dalam negeri itu sangat-sangat cukup,” kata Widjonarko. Saat ini produksi gas per hari Indonesia mencapai 8.400 juta kaki kubik (MMSCF) per hari. Jumlah ini, jika disetarakan dengan minyak menurut kalkulator Selena Oil & Gas, kira-kira hampir 1,5 juta barel per hari. Jumlah yang spektakuler karena produksi minyak kita hanya di kisaran 900 ribu barel per hari.
Produksi ini akan terus bertambah. Dalam dua tahun ini saja produksi rata-rata naik 200 MMSCF per hari. Pada 2018 nanti, pemerintah memperkirakan puncak dari produksi gas nasional mencapai 10 ribu MMSCF per hari. Tambahan ini datang karena tahun depan, misalnya, Lapangan Donggi Senoro dengan cadangan 2,8 TSCF akan berproduksi. Pada 2017, Lapangan Jangkrik di Selat Makassar dengan cadangan 3,4 TSCF mulai berproduksi 550 MMSCF per hari. Tahun berikutnya, Lapangan Masela dengan cadangan 9,18 TSCF dan Lapangan Tangguh Train 3 dengan cadangan gas sekitar 8 TSCF mulai berproduksi. Itu baru cadangan gas konvensional. Dua tipe gas lain, coal bed methane (CBM) dan shale gas, juga mulai dikembangkan. Kedua jenis gas ini masih belum banyak dikembangkan dunia karena soal teknologi. Menurut catatan pemerintah, potensi cadangan shale gas di Indonesia mencapai 574 TSCF dan CBM sebanyak 453,3 TSCF, jauh lebih banyak dibanding cadangan gas konvensional.
Namun potensi kandungan yang besar itu tidak berbanding lurus dengan kemampuan untuk eksplorasi dan biaya. Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Surono, mengatakan, untuk mengeksplorasi potensi CBM dan shale gas di Indonesia, yang butuh biaya besar, belum didukung dengan infrastruktur yang memadai serta kemampuan pendanaan. Contohnya untuk mengeksplorasi shale gas, yang saat ini menjadi primadona di Amerika Serikat. Di Negeri Abang Sam biaya untuk satu kali pengeboran diperkirakan sekitar US$ 3 juta. Sedangkan untuk ongkos produksinya sebesar US$ 2 per juta unit termal Inggris (MMBTU) dengan harga jual ke domestik sebesar US$ 3 per MMBTU.
Apabila pengeboran dilakukan di Indonesia, ongkosnya diperkirakan bisa mencapai tiga atau empat kali lipatnya. “Di Indonesia, lokasinya tersebar dan eksplorasi biasanya akan bersinggungan dengan tanah orang, permukiman, perkebunan, yang tidak mudah untuk diselesaikan dan belum lagi butuh teknologi tinggi,” imbuh Surono. Selain masalah biaya dan infrastruktur, menurut Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo, kendala lainnya dalam mengeksplorasi gas nonkonvensional adalah kekurangan tenaga kerja terdidik dan terlatih untuk mengoperasikan peralatan rig atau anjungan tambang. “Tenaga kerja sebenarnya banyak, namun tidak banyak yang terdidik dan terlatih mengoperasikan rig,” katanya. Sumber:majalahdetik.
Artikel Terkait:
Belum ada tanggapan untuk "60 persen kebutuhan elpiji kita masih impor"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.