DIREKTUR Pemasaran dan Niaga Pertamina menengok galangan kapal Hyundai di Ulsan, Korea Selatan, bulan lalu. Ia tidak hanya ingin melihat dua kapal raksasa pengangkut elpiji yang dipesan Pertamina di pabrik itu. Tapi ia juga diberi tugas tambahan untuk mengkaji kemungkinan mereka menambah pesanan lagi, yakni dua kapal pengangkut LNG.
Pertamina masih belum menentukan dari mana mereka akan membeli dua kapal raksasa pengangkut LNG. Mereka masih menimbang-nimbang apakah tidak sebaiknya memilih kapal buatan Jepang dan Tiongkok, bukan Korea. Mereka juga belum menentukan ukuran kapalnya. “Kemungkinan 140-170 ribu meter kubik, kapal kelas very large (raksasa),” kata Hanung. Meski Indonesia kaya gas dan puluhan tahun menjadi pengekspor LNG terbesar dunia baru belakangan ini posisinya digeser Qatar kapal itu bukan untuk kepentingan ekspor. Justru sebaliknya. Kapal itu akan dipakai untuk mengimpor gas dari Amerika Serikat mulai sekitar 2018 dengan kontrak 20 tahun.
Ya, Indonesia, negeri yang kaya gas, memang akan mengimpor gas dari luar negeri. Alasannya? Ekspor dari ladang-ladang gas dalam negeri tidak bisa dikurangi. “Karena terikat kontrak jangka panjang,” ujar Hanung. Memang, meski produksi gas begitu besar, mayoritas memang untuk diekspor. Ini terutama untuk ladang gas yang mulai produksi sebelum 2004. “Karena gas saat itu belum terlalu dibutuhkan domestik,” kata anggota Komisi Energi DPR, Bobby Adhityo Rizaldi.
Kebutuhan gas dalam negeri mulai naik sejak 2004, bersamaan dengan meroketnya harga minyak dunia. Apalagi, produksi minyak dalam negeri terus turun. Saat itu, Indonesia mulai memutar otak untuk mengubah kebijakan energi, sehingga bahan bakar minyak mulai diganti gas. “Maka gas alam Indonesia, dalam semua bentuk, diperlukan,” kata Bobby. Gas dari terminal ekspor di Corpus Christi, Texas, itu bakal dikirim ke terminal impor di Cilacap, Jawa Tengah, dan Arun, Aceh. Vice Presdent Corporate Communication PT Pertamina, Ali Mundakir, mengatakan terminal penerima ini berkapasitas sekitar 3 juta ton gas per tahun. “Ini untuk memasok kebutuhan gas bagi sektor ketenagalistrikan dan industri,” katanya. Dari kapasitas sebesar itu, sekitar 800 ribu ton gas per tahun akan dipasok dari Amerika Serikat. Terminal ini tidak sepenuhnya dipasok dalam negeri karena Satuan Kerja Sementara Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memang tidak berani memberi jatah terlalu banyak. Kepala SKK Migas, Johanes Widjonarko, menuding salah satu alasannya adalah dua terminal penerima itu tidak juga selesai. “Tidak mungkin dikasih banyak, tapi tidak bisa menerima,” katanya.
Saat ini dua terminal impor ini belum selesai dibuat. Di Arun, terminal impor memanfaatkan terminal ekspor yang bertahun-tahun mengubah gas menjadi gas alam cair (LNG) untuk dikirim ke Jepang. Sedangkan di Cilacap sedang disiapkan terminal impor penerima gas terapung. Urusan terminal penerima gas ini memang ribet,
60 persen kebutuhan elpiji kita masih impor.
Indonesia kaya gas tetapi menjadi raja impor gas, untuk konsumsi dalam negeri malah dihambat urusan teknis. Sebelumnya, gas untuk konsumsi dalam negeri disalurkan dengan pipa. Tambang-tambang gas di Sumatera, misalnya, disalurkan ke Jawa lewat jalur-jalur pipa. Pipa ini terentang di sekitar Jakarta, memasok kebutuhan gas untuk industri, pembangkit listrik, sampai sejumlah perumahan. Tapi, yang menjadi masalah, banyak tambang gas di Indonesia yang wilayahnya terpencil. Sangat sulit untuk dijangkau dengan pipa. Pilihan satu-satunya adalah mengirim dalam bentuk cair alias LNG. Cuma, mengubah gas menjadi LNG itu membutuhkan teknologi tinggi yang mahal.
Untuk terminal pengiriman atau ekspor, yang mengubah gas menjadi cair, sejauh ini memang tidak masalah. Terminal ini menyatu dengan kompleks tambang gas. Kapal-kapal pembawa LNG biasa mengambil gas di Bontang, Arun, atau Tangguh untuk dikirim ke Jepang, Tiongkok, atau Korea.
Tapi untuk terminal penerima atau impor yang mengubah LNG menjadi gas kembali posisi Indonesia berkebalikan. Indonesia tidak memilikinya. Akhirnya diputuskan membuat sejumlah terminal impor atau penerima LNG di sejumlah tempat Indonesia. Terminal ini, seperti di Arun, dimodifikasi dari terminal pengiriman. Namun terminal lainnya dibuat dalam bentuk terapung dan sering disebut dengan FSRU, singkatan dari jargon teknis floating storage and regasification unit. Terminal terapung pertama beroperasi sekitar setahun ini di Teluk Jakarta, dan sudah mendapat kontrak pengiriman gas selama 11 tahun dari lapangan gas di Bontang, Kalimantan Timur.
Terminal terapung lain adalah milik PT Perusahaan Gas Negara. Terminal buatan Hyundai, Korea Selatan, ini sudah dalam pengiriman untuk ditempatkan di Lampung. Diperkirakan, pada Mei mendatang, terminal terapung ini sudah bisa ditambatkan di lepas pantai Lampung. Sedangkan di Banten masih dalam pembuatan. Selain soal hasil tambang gas yang telanjur dikontrak untuk dijual ke asing serta ketidakberanian SKK Migas menjatah terminal penerima dalam jumlah banyak, impor dilakukan karena harga di Amerika Serikat sangat murah. Harga gas di Amerika anjlok karena hadirnya shale gas, jenis gas yang semula susah ditambang tapi sekarang sudah bisa dan murah ditambang. Gas jenis ini, sejak 10 tahun lalu, banyak ditambang Amerika Serikat. Akibatnya, harga gas di sana anjlok gila-gilaan dan pasokan menjadi berlimpah. Harga gas murah di Amerika ini berkebalikan dengan situasi di Indonesia. Menambang gas di Indonesia sangat mahal karena kebanyakan berada di laut dalam seperti di Natuna. “Lokasi terpencar-pencar, sehingga butuh biaya produksi yang tinggi,” ucapnya.
Saat ini, harga pasar gas alam di Asia adalah US$ 10-11 per MMBTU (juta British termal unit). Di Amerika Serikat, harganya hanya US$ 2-3 per MMBTU. “Biaya di dalam negeri itu selalu dihitung sesuai dengan harga yang berlaku di pasar Asia, yang sudah tinggi,” ujar anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, Ibrahim Hasyim. Meski biaya pengiriman gas dari Amerika ke Indonesia mahal, kalau dihitung-hitung, tetap di bawah US$ 10 per MMBTU saat gas itu sampai di Indonesia. Lebih murah dari harga pasar, asal jangan dibandingkan dengan harga gas dari Tangguh, Papua, yang dijual ke Tiongkok. Indonesia menjual gas ke Tiongkok cuma US$ 3,35 per MMBTU. Sumber:majalahdetik
Belum ada tanggapan untuk "Indonesia kaya gas tetapi menjadi raja impor gas"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.