Jumat, 26 Juli 2013, Rudi Rubiandini, 51 tahun, bersiap pulang ke Bandung, Jawa Barat. Sejak menjadi birokrat di Jakarta, guru besar bidang teknik perminyakan dan energi Institut Teknologi Bandung itu memang selalu menghabiskan akhir pekan di rumahnya di Kota Kembang.
Tapi, sembari mudik, Rudi, yang saat itu menjabat Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyakan Gas Bumi (SKK Migas), masih harus menuntaskan satu agenda penting. Petang itu, ia mesti bertemu dengan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (yang membidangi masalah energi dan sumber daya mineral, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup) dari Partai Demokrat, Tri Yulianto.
Maka, sebelum ke Bandung, Rudi, yang membawa tas ransel hitam, kepada sopirnya minta diturunkan di toko buah All Fresh, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Tri harus ditemui karena kader senior Demokrat itu ingin mengambil uang US$ 200 ribu yang dijanjikan Rudi. Uang tersebut sudah disiapkan dalam tas hitam yang dibawa Rudi. Uang itu sebenarnya “pesanan” Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana. Awalnya, Rudi ingin bertemu langsung Sutan, bukan dengan Tri. “Kalau tidak bisa, (baru) saya kontak Mas Tri,” ujar Rudi kepada Sutan lewat telepon seperti dituturkan sumber majalah detik.
Dalam dakwaan atas Rudi, uang US$ 200 ribu itu merupakan bagian dari kasus dugaan suap
SKK Migas, yang menyeret bekas
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (
ESDM) tersebut ke meja hijau. Uang dari Deviardi, pelatih golf Rudi, itu dialirkan ke Senayan karena Rudi tidak tahan terus-menerus didesak Komisi VII agar memberikan uang tunjangan hari raya (THR). “Yang membagi Tri Yulianto,” ujar kuasa hukum Rudi, Rusdi A. Abu Bakar, kepada
majalah detik.
Sutan, juga Tri, beribu kali membantah anggapan kecipratan dolar Rudi. Namun urusan THR gelap itu agaknya bakal panjang. Selain Sutan dan Tri, kini muncul lagi satu nama politikus Demokrat yang disebut ikut “memburu” THR, yakni Jhonny Allen Marbun.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu juga merupakan anggota Komisi VII merangkap anggota Badan Anggaran DPR. Mendapati data pengadilan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi semakin intensif melakukan penyidikan. Pada 17 Januari 2014, penyidik “mengaduk-aduk” rumah megah Sutan di Kompleks Villa Duta, Bogor, Jawa Barat. Penggeledahan juga menjalar ke ruangan kerja pria yang terkenal dengan kalimat “ngeri-ngeri sedap” itu di lantai 9 gedung DPR. Tri pun mengalami nasib sama.
Pada hari itu juga, bekas Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap
SKK Migas. Keterlibatan Waryono dibidik sejak KPK menemukan uang US$ 285 ribu di ruangannya, yang diduga berkaitan dengan uang di tangan Rudi. Uang itu diduga kemudian hendak disetorkan ke DPR.
Waryono disebut-sebut sebagai perantara gratifikasi SKK Migas ke Komisi VII DPR, khususnya kepada Sutan. Dia menampung uang yang ditujukan kepada DPR sepanjang Mei-Juni 2013 ketika Kementerian ESDM dan Komisi VII DPR merembuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2013. Sayang, ia belum bisa dimintai konfirmasi.
Kucuran uang SKK Migas ke Sutan melalui Waryono diungkap Didi Dwi Sutrisnohadi, bekas Kepala Biro Keuangan Kementerian ESDM. Dalam salinan berita acara pemeriksaan (BAP) Didi yang diperoleh majalah detik, pada 28 Mei 2013, menjelang rapat Kementerian ESDM dengan Komisi VII, Waryono menerima uang sekitar US$ 140 ribu dari SKK Migas.
Waryono memerintahkan Didi mengirim uang itu kepada Sutan. Uang itu dipilah-pilah Didi menjadi tiga amplop cokelat, masing-masing dengan kode P (pimpinan Komisi VII DPR), A (anggota Komisi VII DPR), dan S (Sekretariat Komisi VI DPR). Pimpinan Komisi VII berjumlah 4 orang, masing-masing menerima US$ 7.500, anggota 43 orang masing-masing US$ 2.500, dan Sekretariat Komisi VII sebesar US$ 2.500.
Selesai merapikan uang-uang ke dalam amplop, Didi menelepon Irianto Muchyi, staf ahli Sutan di DPR, yang juga salah satu pendiri Demokrat. “Ini ada yang mau disampaikan ke Pak Sutan, tolong diambil,” ujar Didi. “Ya, baik,” jawab Irianto. Tak berapa lama, Irianto datang dan meneken tanda terima. Bukti transaksi itu kabarnya sudah diamankan KPK. Pada 10 Juni 2013, berlangsung lagi rapat Kementerian ESDM, Badan Anggaran DPR, dan Komisi VII di Puncak, Bogor.
Menurut sumber majalah detik, saat itu Rudi berkata kepada Jhonny Allen Marbun bahwa ia telah menyiapkan uang US$ 20 ribu, namun ditolak. Kata Jhonny, BP Migas lembaga asal SKK Migas mempunyai “utang” kepada DPR sebesar US$ 1 juta. Puncak pembahasan RAPBN Perubahan Kementerian ESDM terjadi pada 12 Juni 2013. Dalam rapat kerja tertutup, disepakati anggaran Kementerian ESDM, yang semula Rp 18,8 triliun dalam APBN 2013, berkurang menjadi Rp 17,4 riliun dalam RAPBN Perubahan 2013.
Sebelum rapat kerja dimulai, Waryono memanggil Didi dan menanyakan apakah SKK Migas sudah mengirimkan uang. Karena SKK Migas hanya mengirim US$ 50 ribu, Waryono khawatir bukan main. “Wah, kok segitu, nanti (Komisi VII DPR) marah,” ucap Waryono.
Di tempat lain, Rudi berusaha menghimpun uang. Ia menelepon Direktur Utama PT Pertamina (persero) Karen Agustiawan dan bilang sudah membuat kesepakatan dengan Menteri ESDM Jero Wacik. Kata Rudi, yang “buka kendang” adalah SKK Migas sebesar US$ 150 ribu, sedangkan yang “tutup kendang” Pertamina dengan jumlah yang sama. Uang itu harus dikumpulkan pukul 13.00 WIB karena rapat pengesahan RAPBN Perubahan
Kementerian ESDM digelar pukul 15.00 WIB. Karen emoh. Dia beralasan Pertamina sudah memberikan jatah tersendiri. Tapi alasan itu, menurut Karen, hanya alibi agar ia tidak ditagih lagi oleh Rudi. Karena Karen tidak kooperatif, Rudi mengancam akan melaporkannya kepada Menteri Jero Wacik, atasan Karen.
Saat diperiksa KPK pada 7 November 2013, Karen juga menyebutkan bawahannya sempat dimintai uang oleh Sutan dan Jhonny. Tahun 2011, keduanya memanggil Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin serta Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya. Jhonny, dengan disertai ancaman, meminta “upeti” Rp 1 per liter untuk volume BBM PSO/BBM bersubsidi.
Setahun berikutnya, Hanung Budya serta Direktur Gas Hary K. juga dipanggil Jhonny dan Sutan ke Senayan. Jhonny minta komisi dari setiap pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas, juga dengan disertai ancaman pemecatan. Namun permintaan itu tidak dilayani Pertamina. Menurut Karen, Sutan pernah melobinya agar PT Timas, perusahaan Sutan, diikutkan dalam tender di Pertamina.
Namun telat. Sutan juga meminta agar PT Pertamina Drilling Service Indonesia ditunjuk langsung mengelola rig Northwest Java selama 5 tahun. Padahal ketentuan SKK Migas hanya 3 tahun. Selain melalui stafnya, Sutan sempat bertemu dengan Rudi sampai empat kali agar THR yang dimintanya cair. Sumber majalah detik mengatakan pertemuan itu terjadi di Pacific Place, Bellagio Mall, Plaza Senayan, Hotel The Dharmawangsa, dan rumah Rudi. Disodori tudingan-tudingan itu, Sutan menjawab tidak pernah melakukannya. “Ini pasti diambil dari Twitter, orang suka macam-macam itu,” kata dia.
Adapun Jhonny Allen tidak bersedia dimintai tanggapan. “Kalian jangan mancing-mancing saya. Saya tidak akan berkomentar kalau barangnya enggak jelas,” katanya kepada majalah detik. Rudi untuk sementara menolak memberi tanggapan. Namun ia berjanji bakal membeberkan semua nama itu dalam persidangan. “Ada Sutan Bhatoegana, Ibu Karen, dan sebagainya.
Itu semua suatu hari nanti akan terbuka lembarnya,” kata Rudi seusai sidang di Pengadilan Tipikor, 28 Januari 2013. “Saya berserah diri pada Tuhan saja,” tanggap Sutan.
Belum ada tanggapan untuk "Sutan Bhatoegana dituding menerima gratifikasi dari SKK Migas"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.