Mobil Alphard berwarna hitam tiba-tiba memberikan tanda menepi. Duduk di belakang sopir mobil itu adalah
Sutan Bhatoegana Siregar. Telepon genggam Ketua Komisi VII DPR, komisi yang membidangi energi sumber daya mineral, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup, itu mendadak berbunyi. Di seberang telepon, sang istri terdengar ketakutan.
Perempuan yang hobi merancang rumah itu mengabarkan, pada Kamis 16 Januari 2014 itu, rumah mereka digeledah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada delapan penyidik KPK dengan kawalan dua orang Brimob mendatangi rumah Sutan nan megah di kompleks elite Perumahan Villa Duta, Jalan Sipatahunan No. 26, Kelurahan Baranangsiang, Kecamatan Bogor, Bogor, Jawa Barat, itu.
Saat itu, mobil Sutan tengah melaju di Tol Jagorawi mendekati Pasar Rebo, Jakarta Timur. Ia hendak ke kantornya, gedung Nusantara I Kompleks MPR, DPR, dan DPD, Senayan, Jakarta. Namun, usai menerima telepon itu, Sutan pun meminta sopir untuk berbalik arah, kembali menuju rumahnya.
Padahal rumah itu baru beberapa menit ditinggalkannya. “Sebenarnya saya tidak apa-apa, tetapi istri saya takut, jadi balik saja,” jelas Sutan saat ditemui majalah detik. Sutan mengaku hingga kini sang istri masih shock dengan penggeledahan tersebut. Ibu dua anak itu kaget dengan berita yang menyebut rumah berlantai tiga itu hasil korupsi.
Maka, Sutan pun menolak wartawan yang ingin masuk ke rumahnya. Bahkan, dengan alasan takut ancaman teroris, ia “mengusir” wartawan yang mendekati rumahnya. “Coba rumah Anda digitu-gitukan, macam kita teroris saja,” kata pria yang terkenal dengan ungkapan “ngeri-ngeri sedap itu”.
Rumah Sutan yang digeledah KPK terlihat paling mencolok di antara rumah mewah lain di sekitarnya. Beberapa pilar besar ini menjadi penanda gaya khas arsitektur Mediterania. Rumah yang didominasi warna netral abu-abu ini terlihat bak istana. “Ini istri saya yang mendesain sendiri,” ungkap Sutan.
Harga rumah dengan luas 1.000 meter persegi itu ditaksir mencapai Rp 20 miliar. Tanah dan rumah itu dibeli dan dibangun secara bertahap oleh Sutan. Menurut Sutan, rumah itu sejatinya tidak semewah yang disangkakan orang. “Ada kolam renang kalian bilang, itu kan kolam ikan kecil.”
Sutan lebih sering menempati rumah tersebut belakangan ini meskipun sering mengeluhkan jalannya yang rusak dan kerap macet. Rumah itu baru ditinggali Sutan dan keluarganya pada pertengahan 2013 lalu. Luas tanahnya sekitar 1.000 meter persegi. “Saya bantah ada pemberitaan yang bilang 6.000 meter persegi,” kata Sutan.
Rumah itu menjadi target komisi antirasuah karena terkait dugaan suap Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) sebesar US$ 200 ribu. Nama Sutan tertera dalam dakwaan mantan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, yang duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.
Uang suap SKK Migas diduga mengalir hingga ke kantong Sutan. Versi Rudi, uang itu diberikan melalui Tri Yulianto, kader senior Demokrat yang satu komisi dengan Sutan di Komisi VII DPR. Namun Sutan membantah uang itu sampai pada dirinya. “Ya tidak ada. Tidak ada memang,” kata Sutan.
Kasus dugaan suap SKK Migas bukan kasus korupsi pertama yang menyeret nama Sutan. Pada 2012, nama Sutan disebutkan oleh Sofyan Kasim, pengacara terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan solar home system (SHS) di Kementerian ESDM. Sutan dituding membantu melobi Kementerian ESDM untuk memasukkan dua perusahaan dalam proyek senilai Rp 526 miliar ini. Kasus ini sendiri telah menelan kerugian negara sebesar Rp 131,3 miliar. Selain Sofyan, terdakwa kasus korupsi SHS Ridwan Sanjaya juga menyebutkan keterlibatan Sutan. Namun keterangan dalam pemeriksaan di KPK ini tidak tertera dalam dakwaan jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Sutan juga berhadapan dengan KPK saat dugaan suap pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. KPK melakukan pemeriksaan terhadap Sutan karena ia menerima pemberian telepon geng-gam dari mantan Bendahara Partai Demokrat M. Nazaruddin. Isu kuat menyebut uang suap mengalir hingga Kongres Partai Demokrat di Bandung 2010 lalu.
Namun urusan kali ini tampaknya berbeda. Tidak cuma digeledah rumah dan kantornya, KPK juga sudah tiga kali memeriksa Sutan. Bahkan, staf ahlinya, Irianto Muchyi, juga dicegah bepergian ke luar negeri oleh komisi itu. Tidak aneh, perilaku Sutan pun berubah. Sejak penggeledahan rumah mewahnya itu, ia lebih sering menebar pesan berantai mengenai fitnah melalui telepon genggam BlackBerry-nya. “Sejak 1992 itu, kalau malam saya dibangunkan Allah, tahajud.”
Sutan juga tidak lagi tertawa lebar seperti biasanya saat muncul di media massa. Ia juga tidak lagi mengobral kalimat-kalimat aneh yang menjadi trademark-nya. Selama ini, Sutan terkenal ulet membela Demokrat dengan kalimat lucu, salah satunya kata “ngeri-ngeri sedap”. Lalu ada istilah “ikan salmon” untuk mencela politikus partai koalisi Sekretariat Gabungan, yang tidak konsisten mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Istilah itu merujuk pada Golkar dan PKS yang menyatakan mendukung Yudhoyono-Boediono dalam Pemilu 2009, namun para politikusnya di Senayan selalu menyerang sang Presiden. “Makanya saya katakan ini kelompok ‘ikan salmon’, intelektual kagetan asal ngomong muncul terus tanpa tahu dampak politiknya,” ujar Sutan Bhatoegana awal 2012. Sutan mengawali karier di bidang politik sebagai pendiri Demokrat di lapis kedua. Nama Sutan ikut tertera dalam 99 nama penandatangan dukungan berdirinya Demokrat pada 2001. Aktif di politik, Sutan melepaskan usahanya sebagai Presiden Direktur PT Timas Suplindo, yang bergerak dalam konstruksi pertambangan.
Sutan langsung terlibat aktif dalam kepengurusan Demokrat. Ia duduk sebagai wakil sekretaris jenderal ketika Demokrat berada di bawah Ketua Umum Subur Budhisantoso. Sepak terjang Sutan dalam politik dimulai dari posisi wasekjen ini. Akbar Faizal, dalam bukunya yang terbit pada tahun 2005, Partai Demokrat & SBY, menyebutkan Sutan terlibat dalam upaya penggulingan Subur sebagai ketua umum menjelang Pemilu Legislatif 2004.
Sutan beranggapan latar belakang Subur sebagai peneliti kurang mumpuni jika memegang kendali ketua umum. Apalagi Pemilu 2004 merupakan uji kekuatan perdana bagi Demokrat dalam kancah politik nasional. Dalam buku itu, Sutan mengharap ketua umum yang bermental petarung.
Namun harapan ini sia-sia, SBY tidak menghendaki pergantian ketua umum hingga masa jabatan selesai pada 2005. Meski begitu, keberhasilan Demokrat tetap dirasakan Sutan. Ia lolos sebagai calon anggota legislatif periode 2004-2009. Kepiawaiannya berpolitik menempatkan Sutan sebagai anggota DPR selama 9 tahun. Tahun 2014 ini pun Sutan masih akan bertarung sebagai caleg Demokrat.
Sukses dalam karier politik rupanya juga diimbangi dengan kekayaan Sutan yang berlimpah. Harta kekayaannya mencapai Rp 2,4 miliar pada 2009. Kekayaan terbesarnya disimpan dalam bentuk rumah dan bangunan. Total kekayaannya berupa tanah dan bangunan yang dimilikinya mencapai Rp 1,1 miliar. Jumlah ini menurun dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Sutan tahun 2007, yakni Rp 2,5 miliar.
Rumah yang digeledah KPK belum dimasukkan dalam LHKPN tersebut. Alasannya, rumah itu baru direnovasi dan belum balik nama. Rumah Sutan pun tidak hanya satu itu. Penelusuran majalah detik, dari 6 aset tanah dan bangunan milik Sutan, terdapat dua rumah mewah yang masih miliknya, yakni rumah yang digeledah KPK dan rumah di Jalan Mahkota Pirus No. 21, Perumahan Victoria, Bogor, Jawa Barat.
Sutan menegaskan harta kekayaannya diperoleh dengan cara yang benar. Ia mengaku sudah lama kaya. “Tahu tidak, saya kan umur 27 tahun sudah punya rumah di Tebet (Jakarta Selatan),” ujarnya.
Belum ada tanggapan untuk "Sutan Bhatoegana: Ngeri-ngeri sedap, macam kita teroris aja"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.