Pemberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AFTA) 2015 bakal menjadi tantangan tersendiri bagi kependudukan Indonesia. Membeludaknya tenaga kerja ASEAN yang membanjiri Indonesia akan mempersempit kesempatan kerja bagi angkatan kerja dalam negeri.
Hal tersebut disampaikan peneliti senior Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Prof. DR. Sri Moertiningsih Adioetomo, saat buka puasa bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), di Jakarta, pekan lalu. Hadir pula Kepala BKKBN, Prof Fasli Jalal, dan guru besar Unila sekaligus ekonom senior dari INDEF, Prof Bustanul Arifin.
Moertiningsih mengatakan, tenaga kerja menengah, seperti pengacara, akuntan, dan dokter, akan mengalir ke Indonesia karena memi l iki pasar besar. Umumnya berkompeten dan sudah bersertifikat.
Tenaga kerja Indonesia rata-rata tidak berkompeten
Tenaga kerja Indonesia rata-rata tidak berkompeten, unskill (tidak terampil) dan tanpa sertifikat. Ini akan menjadi tantangan besar apakah Indonesi mampu menghindarkan diri dari jebakan kelas menengah (middle income trap). “Boro-boro pendapatan menengah, Indonesia saat ini baru bisa dikatakan lower middle income, yaitu hampir miskin atau tidak kaya tetapi juga tidak miskin sekali.
Perlu ada strategi kebijakan ekonomi untuk menyerap angkatan kerja ke pasar kerja,” kata Moertiningsih. Sebagaimana diketahui, laporan Bank Dunia yang berjudul “Indonesia: Avoiding the Trap 2014” baru-baru ini mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi hanya 5%-6% per tahun tidak cukup untuk menghindarkan Indonesia dari jebakan negara berpenghasilan menengah.
Bank Dunia mengingatkan, sudah banyak negara masuk dalam perangkap middle income trap. Mereka pada awalnya memiliki pertumbuhan sangat cepat, tapi kemudian mengalami stagnasi selama lebih dari satu dekade. Indonesia akan aman dari jebakan ini jika pertumbuhan ekonominya 9% per tahun.
Di sisi lain, migrasi masyarakat Asean ke Indonesia pun bisa memicu laju pertumbuhan penduduk. Tetapi itu terjadi apabila jumlah yang masuk ke Indonesia jauh lebih besar dari pada yang keluar, dan rata-rata mereka menetap di atas 6 bulan.
Untuk mengantisipasi ini, pemerintah harus membuat regulasi agar tenaga kerja Indonesia tidak semakin terpuruk. Untuk jangka pendek, perlu ada pelatihan dan sertifikasi buruh maupun tenaga kerja.
Menurut Moertiningsih, Indonesia bersyukur memiliki peluang bonus demografi. Tetapi itu pun tidak serta merta memicu pertumbuhan ekonomi. Sebab, besarnya proporsi penduduk usia kerja harus harus memiliki produktivitas dan daya saing tinggi.
Kenyataannya, daya saing pekerja Indonesia umumnya. Sebagian besar dari mereka hanya lulusan SMP dan SD. Lebih dari separuh pemuda usia 15-29 tahun telah berada di pasar kerja umumnya tidak punya kompeten dan keterampilan untuk terserap ke dalam pasar kerja yang makin menuntut spesifikasi canggih. “Mereka mencari pekerjaan tanpa daya saing dan skill, sehingga pendapatannya rendah. Kalau mereka menjadi orang tua akan tetap miskin dan melahirkan generasi yang miskin pula,” katanya.
Karena itu, Moertiningsih berpendapat presiden yang baru harus memprioritaskan peningkatan SDM untuk produktivitas dan daya siang tinggi. Untuk jangka pendek, mereka yang sudah masuk di pasar kerja diberi tambahan pelatihan dan kompetensi, bahkan sertifikasi. Sedangkan untuk jangka panjang, peningkatan kualitas SDM sudah harus dimulai sejak usia dini.
Caranya , menurut Moertiningsih, harus dimulai sejak dini melalui program KB. Selama ini, kata dia, masalah kependudukan hanya dilihat dari capaian pendidikan maupun status kesehatannya. Padahal, akar persoalannya adalah program KB yang sedang mati suri.
Masalah KB terletak pada kelembagaan di daerah. Tidak jelas siapa yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan KB di lapangan. Akibatnya tidak ada komitmen politik, sehingga anggaran untuk KB pun minim. Meskipun ada anggaran, petugas di lapangan belum mampu membuat program. Harus ada pendampingann dari pusat dan provinsi untuk mengajari mereka membuat program yang baik.
Fasli Jalal mengungkapkan, kelangsungan program KKB perlu dukungan kuat dari sisi politis dan anggaran, baik itu oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sebab, menurut dia, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan percuma bila tidak diikuti dengan pengendalian jumlah penduduk.
Kenyataannya, kepadatan penduduk yang semakin tinggi di daerah perdesaan memicu terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam di desa, khususnya lahan pertanian. Sumber:SP
Belum ada tanggapan untuk "AFTA Persempit Peluang Kerja Warga Indonesia"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.