Setelah berpuluh tahun, akhirnya negeri ini memiliki undang-undang perdagangan. Rapat paripurna DPR yang digelar Selasa 11 Februari 2014, menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan disahkan menjadi undang-undang. Sebelumnya rancangan undang-undang usulan pemerintah ini sudah melewati serangkaian pembahasan di Komisi VI bersama Kementerian Perdagangan dan rampung pada Rabu 29 Januari 2014 lalu.
Sinyal persetujuan itu, bahkan sudah dirasakan semenjak Senin 10 Februari 2014, sebab semua fraksi dalam komisi yang membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, dan badan usaha milik negara itu menyetujui draf
RUU Perdagangan ini. Mereka adalah Fraksi PKS, Fraksi Hanura, Fraksi PAN, Fraksi Golkar, Fraksi Demokrat, Fraksi PKB, Fraksi PPP, dan Fraksi Gerindra. Adapun lima fraksi partai yang disetujui tanpa catatan, yakni Demokrat, Hanura, Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PDI-P.
Sedangkan empat fraksi lainnya setuju dengan catatan, yakni PKB menolak Pasal 24 Ayat 2 dan 87 terkait kata dampak pemberian preferensi perdagangan, PKS yang setuju dengan catatan Pasal 3 Ayat 4 dan 5 dihapuskan, PAN dengan catatan tidak bersifat liberal, dan PPP yang setuju RUU Perdagangan ini memberikan peran pemerintah untuk mengelola ekonomi dan subsititusi impor harus segera dilakukan.
RUU Perdagangan ini kembali dibahas dan dilakukan pendalaman sejak tahun 2010. Namun, inisiasinya sudah dilakukan oleh pemerintah pada 1972, dan sempat ditolak pada 1979. Pada Oktober 2013 lalu, pembahasan dilakukan secara intensif dengan DPR. Dan, pemerintah mengharapkan
RUU Perdagangan dapat disahkan pada rapat paripurna DPR pada 11 Februari 2014.
Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung, selaku pimpinan sidang paripurna menegaskan bahwa pengesahan Undang-undang Perdagangan ini merupakan lompatan kemajuan baru. "Akhirnya, setelah 80 tahun kita punya Undang-Undang Perdagangan sendiri," ujar Pramono di Ruang Sidang Paripurna, Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta, Selasa.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manuasia, Amir Syamsudin, dalam kesempatan yang sama menambahkan bahwa UU Perdagangan ini diharapkan bisa melindungi dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat Indonesia."Untuk itu, kami berterima kasih kepada Komisi VI yang melakukan pembahasan terhadap draf RUU yang diajukan oleh pemerintah ini," kata dia.
Semenjak meraih kemerdekaan pada 1945, Amir menjelaskan, Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur perdagangan secara menyeluruh. Selama ini, aturan perdagangan Indonesia mengadopsi hukum kolonial Belanda yang sudah diterbitkan semenjak 1934. "UU ini akan menyelaraskan seluruh undang-undang parsial yang ada dalam sektor perdagangan," ujar Amir.
Rapat paripurna yang seharusnya digelar pukul 10.00 WIB, molor satu jam lebih, sehingga baru dimulai setelah pukul 11.00 WIB. Menurut data kehadiran, rapat paripurna dinyatakan telah memenuhi syarat kuorum karena dihadiri 290 orang, atau lebih dari lima puluh persen anggota parlemen menghadiri sidang paripurna untuk pengesahan UU Perdagangan ini.
Dalam undang-undang ini banyak hal yang dibahas seperti aturan yang mengatur perdagangan melalui sistem elektronik atau biasa disebut e-commerce. Ketentuan terkait e-commerce itu tertera dalam pasal 65. Antara lain, mengatur pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan atau jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan atau informasi secara lengkap dan benar.
"Setiap pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi," demikian kutipan ayat (2) pasal 65 RUU Perdagangan itu.
Data dan informasi yang dimaksud antara lain: identitas dan legalitas pelaku usaha sebagai produsen atau pelaku usaha distribusi, persyaratan teknis barang yang ditawarkan, persyaratan teknis atau kualifikasi jasa yang ditawarkan, harga dan cara pembayaran barang dan atau jasa, dan cara penyerahan barang.
Adapun penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud, wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Jika terjadi sengketa terkait transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa dapat menyelesaikannya melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
Setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar sebagaimana dimaksud di atas, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin.
Aturan lain menyangkut transaksi e-commerce akan dijabarkan lebih rinci dalam peraturan pemerintah. "Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi perdagangan melalui sistem elektronik diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah," demikian kutipan Pasal 66 RUU Perdagangan.
Undang-undang ini juga memuat pasal khusus tentang perlindungan dan pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dalam Bab X Pasal 73 UU ini disebutkan bahwa pada pasal 1, pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan pemberdayaan terhadap koperasi serta UMKM di sektor perdagangan.
Pemberdayaan tersebut berupa pemberian fasilitas, insentif, bimbingan teknis akses dan/atau bantuan permodalan, bantuan permodalan, bantuan promosi dan pemasaran. Selanjutnya, pemerintah juga dapat bekerja sama dengan pihak lain untuk melakukan pemberdayaan tersebut.
Selain itu, poin yang mengalami perubahan dalam RUU adalah kerja sama perdagangan internasional. Dalam Bab XII Pasal 83, pemerintah dapat berkoordinasi dengan DPR untuk melakukan perjanjian perdagangan. Pada Pasal 84 ayat 1 dijelaskan bahwa setiap perjanjian perdagangan internasional disampaikan kepada DPR paling lama 90 hari kerja setelah penandatanganan perjanjian.
Lalu, perjanjian ini akan dibahas DPR dan diputuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR. Dalam ayat 5 dijelaskan, dalam hal perjanjian internasional yang dapat membahayakan kepentingan nasional, DPR bisa menolak penjanjian perdagangan internasional. Keikusertaan DPR dalam perjanjian perdagangan internasional ini merupakan hal baru yang tidak pernah diatur. Pemerintah sebelumnya bisa melakukan perjanjian perdagangan internasional tanpa perlu melapor ke DPR.
Dalam undang-undang ini juga dibahas perdagangan ekspor dan impor. Dalam regulasi ini, tepatnya dalam Bab V Perdagangan Luar Negeri, diatur beberapa hal terkait dengan perdagangan ekspor, impor, perdagangan jasa, dan perdagangan perbatasan. Para eksportir dan importir wajib memiliki izin impor dari pemerintah. "Ekspor barang dilakukan oleh pelaku usaha yang telah terdaftar dan ditetapkan sebagai eksportir, kecuali ditentukan oleh Menteri," seperti yang dikutip dari pasal 42 ayat 1.
Tapi, eksportir harus bertanggung jawab dengan barang yang diekspornya. Kalau tidak, dia akan dikenai hukuman, seperti pencabutan izin usaha. "Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap barang yang diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan, persetujuan, dan pengakuan dan/atau penetapan di bidang perdagangan," bunyi pasal 43 ayat (2).
"Eksportir yang melakukan tindakan penyalahgunaan atas penetapan sebagai eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dikenai sanksi adminstratif berupa pembatalan penetapan sebagai eksportir," bunyi pasal 44.
Begitu pula dengan importir. Importir juga bertanggung jawab terkait dengan barang impornya. Pelaku usaha ini wajib memasok barang dalam keadaan baru, tapi, bisa juga memasok barang bekas. Impor barang tidak baru itu terjadi untuk keadaan tertentu."Surat perizinan impor atas barang dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (2) diserahkan pada saat menyelesaikan kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan."
Para eksportir dan importir juga dilarang untuk mengimpor barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan barang yang diekspor dan diimpor. Apabila aturan ini dilanggar, mereka akan dikenai sanksi administratif. "Setiap eksportir yang mengekspor barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan barang untuk diekspor sebahaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan."
"Setiap importir yang mengimpor barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan barang untuk diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian, barang ekspor yang eksportirnya dihukum, akan dikuasai negara, sementara importir yang dihukum, diwajibkan untuk mengekspor kembali barang impornya. Hal ini tertuang dalam pasal 53 ayat 1 dan 2.
- Eksportir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (4) terhadap barang ekspornya dikuasai oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Importir yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (5) terhadap barang impornya, wajib diekspor kembali, dimusnahkan oleh importir, atau ditentukan lain oleh menteri.
Pemerintah lakukan sinkronisasi aturan Lain
Pemerintah akan mengambil sejumlah langkah penting setelah disahkannya Undang-undang Perdagangan oleh DPR RI. Dalam beberapa waktu ke depan, pemerintah akan melakukan sinkronisasi dengan peraturan-peraturan lainnya.
Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, mengungkapkan dengan adanya UU ini maka akan menggugurkan UU Perdagangan lain. "UU ini akan mengugurkan UU Perdagangan lain yang bersifat parsial," katanya.
Udang-Undang yang dimaksud Bayu adalah UU tentang Perdagangan Barang, UU tentang Perdagangan Barang Dalam Pengawasan dan beberapa UU perdagangan lainnya. Selain itu, menurutnya, UU ini juga mencakup perdagangan online.
Menurut Bayu, UU tersebut sangat melindungi Usaha Kecil Menengah (UKM) dan juga Koperasi. Lebih lanjut dia mengungkapkan, UU itu menempatkan kepentingan nasional bangsa di tempat yang tertinggi. Ia menambahkan, UU itu juga memberikan dasar-dasar untuk kebijakan perdagangan dalam ataupun luar negeri.
Mengenai perdagangan online, Bayu mengungkapkan, pihaknya akan mengkoordinasikan mengenai masalah itu dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi dalam UU ITE. Undang-undang ini, menurut Bayu, menegaskan sikap pemerintah yang tidak menganut pasar bebas.
"Pemerintah melalui UU ini menegaskan bahwa kami tidak menganut perdagangan bebas. Kami menghormati mekanisme pasar tapi pemerintah juga wajib untuk melakukan intervensi dan memberikan perlindungan jika masyarakat membutuhkan. Pokoknya kami mencari perimbangan," ujarnya.
Sekjen Kementerian Perdagangan, Gunaryo, menambahkan bahwa nantinya perdagangan elektronik atau e-commerce akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP). "Dalam PP, diatur pembayaran, pajak, dan penyelenggaranya. Apa saja yang harus dipenuhi dia (penyelenggara). Lalu, untuk iklan, harus diketahui identitas pengiklannya," kata dia, Selasa.
Namun, Gunaryo belum bisa menjelaskan perdagangan jenis ini akan dikenai pajak atau tidak. Yang jelas, kementerian akan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk membahas pengenaan pajak perdagangan online. "Apakah dibebaskan dari pajak atau tidak, harus komunikasikan dengan Dirjen Pajak," ujarnya.
Sayangnya, Gunaryo juga tidak menyebutkan waktu pasti PP tersebut diterbitkan. Sebab, perdagangan online ini tidak hanya berkaitan dengan perdagangan, tapi juga dengan fiskal dan luar negeri. "Kami ingin ketika RUU Perdagangan disahkan, ada peraturan lainnya yang keluar dalam waktu yang tidak lama," kata dia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Sri Agustina, berpendapat bahwa perdagangan online nantinya akan diatur dalan PP. "Jadi, UU Perdagangan nantinya akan menjadi payung hukum PP tersebut," jelasnya. Dia menegaskan, setelah disahkan UU Perdagangan baru akan dibahas RPP-nya. PP harus di bahas dengan pihak-pihak terkait, di antaranya kementerian lain dan asosiasi pedagang. "Pokoknya, banyak pihaklah," tutur Sri.
Yang diatur apa saja? "Intinya, nanti, baik penyelenggara maupun penjual harus berbadan hukum. Misalnya, Kaskus itu kan penyelenggara, dia harus berbadan hukum, lalu penjual di dalamnya juga. Tetapi, kalau penyelenggaran sekaligus penjual cukup satu badan hukum saja," kata dia.
Selain itu, menurut Sri, perdagangan online harus mengikuti ketentuan seperti perdagangan biasa. Begitu pula, dengan pajaknya. "Yang paling mudah, ya mengikuti standar nasional Indonesia." tegasnya.
Belum ada tanggapan untuk "Bagaimana pemerintah mengatur traksaksi online? "
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.