SEBANYAK 16 ekor luwak jenis Padang Bulan sedang bersantai menikmati sejuknya udara yang menyelimuti Kampung Kiarasanding, Pangalengan, Bandung, Selasa, 26 November 2013. Mereka tinggal di sangkar seukuran lemari pakaian besar dan dilengkapi kayu bercabang. Tiap luwak memiliki kamar sendiri-sendiri dari papan. Sesekali dua-tiga ekor luwak keluar dan turun menyusuri batang kayu, mengambil pisang di dasar kandang, dan kembali ke kamarnya. Tugas luwak-luwak itu hanya satu: makan biji kopi.
Biji yang kemudian keluar bersama kotoran akan dikumpulkan, dibersihkan sebersih-bersihnya, dan kemudian diekspor sebagai “kopi luwak”, kopi termahal di dunia. Rudi Sugiman, si pemilik luwak, mengatakan kamar dalam kandang itu berjumlah 20 buah, tapi empat luwak sudah dikembalikan ke alam setelah tiga tahun “berdinas” memproduksi kopi luwak. “Setelah 3 tahun, luwak akan dirilis (dilepas) untuk menyalurkan hasrat kawinnya, yang biasanya bulan Oktober dan April,” ujar pemilik pabrik kopi luwak CV Three Mountains. Selain itu, pengembalian ke alam untuk memulihkan psikologi luwak, yang mungkin stres tinggal di kandang. Usaha Rudi menjaga psikologi makhluk berbulu kecil seperti tidak ada artinya setelah kelompok pencinta binatang People for the Ethical Treatment of Animal (PETA) cabang Asia menuding para produsen kopi luwak itu menyiksa binatang.
Tudingan muncul, salah satunya, karena dalam 10 tahun terakhir kopi luwak mulai trendi di negara Barat. Aromanya yang khas, akibat fermentasi di perut luwak, membuat rasa kopinya berbeda. Popularitas kopi luwak ini diberi legitimasi salah satu film Hollywood, The Bucket List. Pemeran utamanya, Jack Nicholson, mengungkapkan sejumlah cita-cita temannya sebelum ia mati. Salah satunya menikmati kopi luwak.
Kopi luwak diperkenalkan ke dunia Barat pada 1991 oleh Tony Wild. Konsultan kopi dan penulis buku Coffee: A Dark History tersebut pada tahun itu menjadi direktur urusan kopi di Taylors of Harrogate, jaringan kafe Inggris. Ia mendatangkan
kopi luwak dari Indonesia sebanyak 1 kilogram. Hanya 1 kilogram. Tapi, segera saja, menurut Wild dalam tulisan di harian The Guardian, Inggris, awal bulan lalu, kabar soal
kopi luwak ini segera merebak.
Pada mulanya, kopi ini dipungut di kebun kopi dari luwak liar. Tapi kemudian warga Indonesia mencoba memelihara luwak dan memproduksinya di kandang. Pemeliharaannya memang tidak terlalu sulit. Rudi, yang mulai memelihara luwak sejak 2006, saat ini memiliki sekitar 400 ekor, yang sekitar 380 ekor di antaranya dititipkan ke petani binaannya. Setiap hari luwak itu diberi pisang dan pepaya. Selain itu, mereka diberi vitamin, parutan wortel, susu, dan madu untuk menambah vitalitas.
Sedangkan biji kopi berwarna merah yang biasa disebut cherry hanya sebagai camilan dan diberikan dalam dua atau tiga kali dalam sepekan. Dari sekitar 1-2 kilogram cherry yang diberikan, ia akan memanen 4-8 ons biji kopi yang tercampur kotoran luwak. Pemeliharaan luwak inilah yang membuat Wild dan kelompok PETA sekarang berkampanye menolak kopi luwak karena menyatakan binatang itu tersiksa di dalam kandang. Ketua Asosiasi Kopi Luwak Indonesia, Edy Panggabean, mengatakan tudingan itu sebagai bentuk kampanye hitam untuk menghadang kopi luwak asal Indonesia yang telah mendunia. Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menyatakan tudingan PETA itu sebagai bentuk perang dagang. “Perang dagangnya sih bukan di antara sesama produsen kopi luwak, namun dengan produsen kopi yang lain,” kata Bayu.
Para peternak luwak tentu saja membantah tudingan ternak mereka tersiksa. Sugeng Pujianto, pemilik Kopi Luwak Cikolen di kawasan Lembang, Bandung, menyebut PETA hanya melihat satu tempat produksi kopi luwak saja, tidak semuanya. Sugeng, yang memelihara 160 ekor luwak, mengatakan luwak itu diperhatikan dengan saksama dan diperiksa secara berkala. “Luwak itu kan memberikan rezeki buat saya, tentu luwak harus diperhatikan,” ujar dokter hewan ini. Rezeki dari luwak ini memang lumayan. Dokter Hewan Sugeng bisa mendapatkan Rp 200 juta selama masa panen. Uang itu didapat dengan mengirim produknya ke Korea Selatan, Belanda, Prancis, Inggris, dan Italia.
Jika jumlah luwaknya berlipat, hasilnya juga berlipat. Rudi, yang memiliki sekitar 400 ekor luwak, mampu meraup omzet penjualan rata-rata Rp 300-400 juta selama periode masa panen. Pemilik luwak lain, Dani Buldani, mengatakan, “Omzetnya masih skala UKM, sekitar Rp 80-150 juta per bulan.” Dani menjual kopinya dengan cap Golden Luwak lewat perusahaannya, CV Kopi Luwak Indonesia. Hans Henricus B.S. Aron
Belum ada tanggapan untuk "Kampanye Hitam Kopi Luwak Indonesia"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.