Royalcharter -
Berita Ekonomi. Sejak masih bernama Persetujuan Umum Tarif dan Perdagangan (
The General Agreement on Tariffs and Trade/ GATT),
Organisasi Perdagangan Dunia (
WTO) memang memiliki catatan perundingan yang berlarut-larut. Pertemuan di Bali pekan lalu pun merupakan lanjutan perundingan yang dimulai 12 tahun silam di Doha.
Perundingan ini berlarut-larut karena hasil pertemuan mesti dimufakati seluruh anggota. Salah satu negara menolak, maka harus dicari jalan agar ia bisa sepakat. Pasal-pasalnya juga satu paket, mesti disepakati semua atau tidak semuanya.
Tahun 1947. Sebanyak 23 negara menandatangani GATT di Jenewa, Swiss. GATT dibuat agar masing-masing negara penanda tangan mengurangi tarif dan perdagangan. Penanda tangan awal terutama negara Sekutu dalam Perang Dunia II, di antaranya Amerika Serikat dan Prancis.
Tahun 1948. Muncul ide Organisasi Perdagangan Internasional (ITO), sehingga kesepakatan dalam GATT diwadahi satu organisasi yang lebih kuat. Tapi, akibat masalah politik dalam negeri, Amerika menolak.
Tahun 1950. Indonesia menandatangani GATT.
Tahun 1959. Putaran perundingan GATT pertama Putaran Jenewa, karena dimulai di kota itu diselesaikan. Sejak itu, sejumlah putaran perundingan terus digelar dan sejumlah kesepakatan penurunan tarif terus ditambah.
Tahun 1986. Putaran perundingan GAAT kedelapan, dimulai dari Uruguay. Putaran perundingan ini sangat ambisius karena memasukkan item yang semula sulit dirundingkan kesepakatannya, seperti produk tekstil dan pertanian. Putaran Uruguay juga memasukkan sektor yang semula tidak masuk dalam peraturan GATT, seperti bidang jasa, hak cipta, dan distorsi investasi.
Tahun 1995. Penanda tangan GATT sepakat membentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Tahun 1996. Pertemuan para menteri WTO pertama digelar di Singapura. Mulai tampak perbedaan pandangan antara negara maju dan berkembang di WTO dalam pertemuan ini. Negara maju mengagendakan keterbukaan tender pemerintah, pemfasilitasan kredit, sampai penyeragaman standar pabeanan. Negara berkembang menolak isu yang disebut Singapore Issue ini dan meminta negara maju mengurangi subsidi pertanian.
Tahun 1999. Pertemuan para menteri WTO ketiga digelar di Seattle, Amerika Serikat. Pertemuan ini tidak hanya gagal mencapai konsensus, tapi juga diwarnai unjuk rasa terbesar Amerika Serikat dalam beberapa puluh tahun. Para demonstran itu datang dari berbagai kelompok, mulai kelompok buruh, kelompok anarkis, sampai LSM top dunia.
Tahun 2001. Pertemuan para menteri WTO di gelar di Doha. Para menteri bersepakat mulai membuka pasar pertanian, manufaktur, jasa, sampai peraturan hak cipta.
Tahun 2003. Pertemuan di gelar di Cancun, Meksiko, dan gagal total. Negara maju berkukuh Singapore Issue dinegosiasikan, sedangkan negara berkembang berkukuh negara maju menghapus subsidi pertanian. Tidak ada yang bersedia melunak. Negara berkembang terutama yang besar, seperti India dan Cina mulai berani mengambil sikap berlawanan dengan negara kaya.
Tahun 2004. Muncul kompromi, negara maju bersedia mengurangi subsidi pertanian dan negara berkembang bersedia mengurangi tarif barang produksi. Perundingan Putaran Doha tidak juga selesai dengan isu utama yang tidak juga bergerak.
Tahun 2013. Pertemuan di Bali masih mencoba menyelesaikan sejumlah kesepakatan. India memandang kebijakan keamanan pangan mereka ingin membeli mahal hasil panen petani sebagai harga mati, padahal ini bisa melanggar kesepakatan WTO. Sumber:detik.com
Artikel Terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Kebijakan WTO yang tidak pernah jelas"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.