Royalcharter - Kali ini
royalcharter mengutip dari
MajalahDetik tentang
waduk Jatigede yang pembangunannya bakal tertunda lagi.
Sebelum air sampai mata kaki, mah, warga belum mau pindah,” ujar Endi Saefullah, Kepala Desa Jampeh, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, saat ditemui Rabu, 4 Desember 2013.
Penuturan Saefullah itu merupakan tekad sebagian warga Jampeh, yang masuk wilayah yang terkena dampak pembangunan
Waduk Jatigede Sumedang. Di desanya, ada sembilan dusun yang masuk wilayah yang terkena dampak pembangunan waduk. Namun tak semua warga mau direlokasi. Mereka memilih bertahan sampai harga ganti rugi untuk tanah dan rumah mereka yang ditawarkan pemerintah sesuai dengan harga pasaran. Warga yang bertahan, kata Saefullah, juga tidak peduli apabila wilayah mereka nantinya bakal terisolasi dan tidak diperhatikan.
Meski saat ini jalan-jalan menuju kampung mereka dalam kondisi rusak parah dan tak lagi diperbaiki, warga kukuh bertahan di tanah kelahiran mereka.
“Jalan di sini sudah lama tidak diperbaiki. Mungkin sengaja supaya warga tidak betah dan mau pindah,” katanya, mencoba menduga-duga.
Selain soal ganti rugi yang dianggap tidak sesuai, warga mempersoalkan rencana pemindahan sejumlah situs makam kuno di kawasan yang terkena dampak Waduk Jatigede. Dari 13 desa di enam kecamatan, setidaknya ada 46 situs yang bakal tergusur untuk proyek waduk. Paling banyak berada di Kecamatan Darmaraja. Bahkan, di daerah ini terdapat makam Eyang Aji Putih atau Prabu Guru Aji Putih, yang dikenal sebagai tokoh pendiri Kerajaan Sumedang Larang pertama.
Karena itu pula warga setempat kompak menolak. Bahkan mengancam siap jadi tameng hidup jika ada yang mencoba menggusur makam para karuhun (leluhur) mereka itu.
“Warga siap jihad dan siap mati. Kalau (makam) mau dipindah, warga siap peranglah. Iyeu (ini) bakal jadi kasus Mbah Priok jilid kedua,” tutur Ketua Forum Komunikasi Rakyat Jatigede, Kusnadi Candrawiguna.
Selain diwarnai penolakan, pembangunan waduk tersebut ditengarai menyalahi aturan. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung melihat banyak aturan yang ditabrak, baik saat proses pembebasan lahan maupun saat proyek Waduk Jatigede dikerjakan. Direktur LBH Bandung Arif Yogiawan menilai, sejak awal, proyek Waduk Jatigede tidak jelas juntrungannya, apalagi saat pembebasan lahan pada 1982, yang diduga sarat dengan praktek intimidasi. Dugaan pelanggaran hak asasi manusia juga mewarnai proyek ini. Sejak 1981, urusan keperdataan terkait lahan warga disetop. Padahal, saat itu belum ada pembebasan lahan.
Wilayah yang terkena dampak juga dibiarkan terisolasi bertahun-tahun. Sementara itu, mereka yang bersedia direlokasi menghadapi masalah. Sejumlah warga ditransmigrasikan ke luar Jawa dan ditempatkan di kawasan perkebunan telantar yang ditumbuhi alang-alang tinggi. Akhirnya, banyak yang tidak betah dan memilih kembali ke Sumedang. “Apalagi, di sini kan tanahnya subur, terutama untuk menanam padi,” ucap Arif.
Selain pelanggaran HAM, LBH Bandung mengendus dugaan praktek korupsi saat proses pembebasan lahan. “Dari penelusuran kami, telah terjadi korupsi yang merugikan keuangan negara dan rakyat senilai sekitar Rp 6 miliar,” katanya. Sengkarut pembebasan lahan Waduk Jatigede mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sumedang untuk membentuk
Panitia Khusus (
Pansus)
Jatigede, sejak awal 2013. Sebabnya, ada 15 ribu pengaduan yang dilayangkan warga terkait proses pembangunan waduk. Menurut Ketua Pansus Jatigede, yang juga Wakil Ketua DPRD Sumedang, Edi Askhari, saat ini Pansus sedang mengkaji beberapa hal yang memicu protes warga.
Soal pembebasan lahan, misalnya, dari data yang diperoleh, warga yang belum menerima ganti rugi adalah 2.600 keluarga. “Padahal penduduk yang terkena dampak ada 14 ribuan keluarga,” ujar Askhari. Sedangkan soal relokasi penduduk, pemerintah menyebutkan sudah menyiapkan 12 ribu rumah singgah. Tapi, begitu dicek, tutur Askhari, cuma 600 rumah singgah saja. Hal lain yang menjadi perhatian Pansus adalah soal keberadaan sejumlah situs sejarah yang terancam hilang jika kawasan yang terkena dampak nantinya ditenggelamkan menjadi waduk. Selain bakal menghilangkan jejak budaya dan sejarah Sumedang, hal itu berpotensi menimbulkan konflik baru dengan warga.
Senada dengan Kusnadi, Askhari mengingatkan soal bentrokan berdarah di Jakarta yang pecah karena warga mempertahankan makam keramat Mbah Priok, yang kala itu akan digusur. “Warga banyak yang siap mati untuk mempertahankan situs makam Raja Sumedang. Jangan sampai kerusuhan makam Mbah Priok terjadi di Sumedang,” tuturnya.
Tidak kalah penting, Waduk Jatigede yang kelak dioperasikan dinilai tidak bermanfaat bagi masyarakat Sumedang. Waduk itu dibangun untuk kepentingan di luar Sumedang. “Bayangkan, dulu begitu susah, memohon agar dialiri listrik di wilayah Jatigede dan sekitarnya. Sejak 1980-an, baru 2003 dialiri (listrik), ini artinya apa?” ucap Askhari. Waduk Jatigede sejatinya proyek lawas yang tak kunjung terlaksana sampai sekarang. Padahal bendungan di aliran Sungai Cimanuk-Cisanggarung itu direncanakan sejak 46 tahun lalu, tepatnya 1967. Proses pendataan terhadap 8.000 keluarga di kawasan itu pun dimulai sejak 1982. Dan, pada 1984-1986, lahan milik warga mulai dibebaskan dengan cara direlokasi dan melalui program transmigrasi.
Namun proses ganti rugi ini sempat terhenti dan pembangunan Waduk Jatigede pun mangkrak. Proses baru berlanjut pada 1996. Kemudian pada 2004 hingga 2006, dan 2008-2009, serta 2010-2013, proyek dilanjutkan kembali. Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Sumedang, yang juga Ketua Panitia Pembebasan Tanah (P2T) pada Proyek Waduk Jatigede, Zaenal Alimin, mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih menunggu payung hukum terkait kelanjutan pembebasan lahan, yakni berupa peraturan presiden (perpres).
Perpres itu sedang digodok di Kementerian Koordinator Perekonomian. Sebelumnya, kata Zaenal, dasar hukum pembebasan lahan mengacu pada aturan lama, yakni Perpres Nomor 36 Tahun 2005, dan keputusan bupati. Proyek Waduk Jatigede memiliki nilai investasi Rp 4 triliun, yang 90 persennya menggunakan dana pinjaman dari Bank Exim Cina, ditambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Waduk ini akan menggenangi wilayah seluas 4.973 hektare, sehingga diklaim bakal menjadi waduk terbesar kedua setelah Jatiluhur di Purwakarta.
Kementerian Pekerjaan Umum menargetkan proyek ini rampung September-Oktober 2013, sehingga bisa diresmikan pada Februari 2014. Namun, menjelang berakhirnya 2013, pembangunan fisik waduk diklaim baru mencapai 74 persen. Belum lagi masih banyak warga yang memilih bertahan. Rencana pengoperasian waduk ini agaknya bakal tertunda lagi.
Belum ada tanggapan untuk "Waduk Jatigede bakal jadi kasus Mbah Priok jilid dua"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.