Saudi menjatuhkan
harga minyak tujuannya agar investor shale oil Amerika merugi. Harga bensin di Shell, seperti juga Pertamax di pompa bensin Pertamina, memang mengikuti harga minyak mentah dunia. Dan sudah sebulan lebih ini harga minyak dunia terjun bebas, dari kisaran US$ 100 per barel menjadi tinggal US$ 70 per barel.
Penyebabnya sederhana: Amerika Serikat mulai memanen shale oil. Minyak serpih, yang didapat dari lapisan bebatuan yang susah ditambang, sudah mulai bisa diproduksi. Biaya produksi sudah tertutupi karena harga minyak selama ini cukup mahal, di kisaran US$ 100 per barel.
Jumlah panenan minyak Amerika ini terus bertambah. Dari kisaran 5 juta barel per hari, produksi minyak mentah Amerika Serikat sekarang sudah di kisaran hampir 9 juta barel per hari. Produksi terus bertambah dan diperkirakan dalam tiga tahun bakal mencapai 13 juta barel per hari.
Arab Saudi pun menjadi cemas. Negara Arab ini sekarang merupakan produsen minyak terbesar dunia dengan angka 9-10 juta barel per hari. Jika produksi Amerika terus bertambah, pasar Arab bisa celaka. Dua pekan lalu, negara pengekspor minyak yang dimotori Arab Saudi bersidang dan memutuskan kuota produksi tidak akan dikurangi. Tetap sekitar 30 juta barel per hari. Akibatnya, harga pun anjlok.
Analis komoditas dari Millennium Penata Futures, Suluh Adil Wicaksono, mengatakan harga jatuh karena permintaan tak tumbuh signifikan. “Di sisi lain, suplai berlimpah karena OPEC tidak memangkas kuota produksi,” katanya. Akibatnya, harga minyak utama dunia yang diperdagangkan di bursa komoditas internasional menurun. Contohnya, rata-rata harga minyak WTI atau West Texas Intermediate selama November di New York Mercantile Exchange (bursa komoditas berjangka Amerika) turun sebesar US$ 8,53 per barel menjadi US$ 75,81 per barel.
Suluh mengatakan harga akan terus turun selama suplai minyak di konsumen utama OPEC meningkat. Selain itu, eksplorasi sumber energi alternatif, seperti shale oil dan shale gas, di Amerika dan Kanada turut memicu melorotnya harga minyak dunia. Menurut dia, jika mengacu pada data pergerakan harga minyak selama 4 tahun terakhir, titik terendah dari melemahnya harga minyak dunia akan mencapai level US$ 60-62 per barel.
Namun diperkirakan Amerika, Kanada, dan beberapa negara besar OECD dan OPEC tidak akan membiarkan harga minyak dunia jatuh terlalu dalam. Sebab, masing-masing negara memiliki kepentingan terhadap harga minyak dunia yang stabil. “Semuanya, kalau terkait dengan emas hitam satu ini, ada saja kebijakan pemerintah masing-masing, tentu mereka tidak mau harga minyak turun terlalu dalam,” kata Suluh.
Pemerintah pun mengawasi pergerakan harga minyak dunia maupun Indonesian Crude Price (ICP). Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan rata-rata ICP dari Januari hingga Juni 2014 berada di kisaran US$ 105 per barel hingga US$ 109 per barel. “Pemerintah mengawasi perkembangan harga minyak dunia dan ICP. Saya sudah minta staf di Kementerian Keuangan melihat forecast yang ada,” kata Bambang.
Meski harga minyak turun, pemerintah tidak berencana menurunkan harga BBM bersubsidi yang baru saja dinaikkan. “Kita akan lihat proyeksi harga minyak dunia ke depan sehingga punya antisipasi kalau harga turun terus atau naik lagi, sehingga bisa memberikan kebijakan yang tepat terhadap harga BBM,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil. Sumber:majalahdetik.
Belum ada tanggapan untuk "Perang harga minyak antara Amerika VS Arab"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.