Saham negara lenyap dari PT JIE. Jatah setoran dividen 5% saham tak pernah mampir ke kas negara. Hartati Murdaya menawarkan solusi enak sama enak. Amarah mengakhiri petang itu. Dua tahun lebih peristiwa itu berlalu. Namun Akbar Faisal masih ingat persis kronologinya. Semua dipicu kalimat Hartati Murdaya Poo.
Akbar berkisah, pada Selasa 5 Oktober 2010 itu ia benar-benar tersinggung oleh Hartati. Saat itu Panitia Kerja (Panja) Aset Negara DPR memanggil Hartati untuk dimintai keterangan. Perusahaan Hartati, PT Jakarta International Expo (JIExpo), tengah disorot atas kepemilikan Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 44 hektare (Ha) di kompleks Aset Negara Kemayoran. Sejak JIExpo menguasai lahan itu, saham negara sebesar 5% lenyap. Dividen ke negara pun menguap begitu saja.
Nah menemui DPR, Hartati menawarkan solusi agar enak sama enak. Ia meminta agar Panja tidak perlu ngotot soal aset negara. “Apa maksud Anda dengan kalimat itu? Keluar!” bentak Akbar. Suara marah Akbar Faisal itu terdengar lantang memenuhi Ruang Sidang Komisi II DPR di Gedung Kura-Kura kompleks DPR, MPR, dan DPD, Senayan Jakarta.
Hartati terpaku mendengar bentakan itu. Ketika malam mulai turun, Hartati berjalan keluar dengan kepala mendongak. Istri Murdaya Poo itu diusir. “Dia bermasalah malah berani ngomong tidak ada saham negara. Sudah itu bilang ‘sama-sama enak’. Itu maksudnya apa? Memangnya kami bisa disuap?” jelas Akbar ketika dikonfirmasi majalah detik.
Namun mengejar hak negara menemui jalan berliku. Berkas PT JIExpo menumpuk di antara seratusan perusahaan pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) di kompleks Kemayoran. Namun permasalahan PT JIExpo mengemuka karena menguasai lahan yang demikian luas.
Sejarah tanah itu bermula dengan keputusan pemerintah untuk mengelola lahan bekas Bandar Kemayoran seluas 418 Ha pada tahun 1985. Lahan ini diberikan kepada Perum Angkasa Pura sebagai penyertaan modal pemerintah. Pemerintah membentuk Badan Pengelolaan Kompleks Kemayoran (BPKK) untuk memberdayakan lahan aset negara dengan memegang Hak Pengelo-laan Lahan (HPL). HPL kompleks Kemayoran terbagi menjadi empat, yakni Kebon Kosong seluas 390.280 meter persegi, Gunung Sahari Utara seluas 1.020.990 meter persegi, Gunung Sahari Selatan seluas 945.315 meter persegi, dan Pademangan Timur seluas 1.823.530 meter persegi.
Badan inilah yang memberikan HGB kepada perusahaan (HGB di atas HPL). Hingga saat ini HGB di kompleks Kemayoran hanya mencapai 1.326.614 meter persegi. Sehingga lahan kosong yang belum diberdayakan masih mencapai 2.853.501 meter persegi. Mitra pemegang HGB tersebut antara lain Bank BTN, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Alpena Bakti Nusantara, dan lainnya. BPKK menerima saham 5% sebagai penyertaan modal berupa tanah atas perusahaan itu. Tahun 1988, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto mengajukan permintaan kepada Ketua BPKK Moerdiono untuk memanfaatkan lahan yang kini ditempati PT JIExpo untuk penyelenggaraan Pekan Raya Jakarta (PRJ). Permintaan ini diajukan karena sempitnya lahan Monumen Nasional (Monas).
Namun hak pengelolaan tanah mengalami perpindahan beberapa kali. Tahun 1989 BPKK memberikan hak pengelolaan kepada Yayasan PRJ seluas 44 Ha dengan nilai pengganti tanah Rp75 ribu/meter persegi. Sedangkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada saat itu adalah Rp300 ribu/meter persegi untuk HGB selama 30 tahun (menurut UU Perdata).
Yayasan ini mengalihkan pengelolaan kepada PT Jayanusa Perdana (JNP), perusahaan yang merupakan perusahaan patungan bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pengelolaan berpindah lagi pada 9 Maret 1990, PT JNP mengalihkan pengelolaan kepada PT Jakarta International Trade Center (JITC), milik Edward Soerjadjaja. JITC sendiri merupakan komposisi saham beberapa perusahaan, yakni PT JNP dengan saham 52,5%, PT Jakarta Development Corporation (JDC/sebuah perusahaan Jepang) dengan saham 42,5%, dan BPKK dengan saham 5%.
Namun PT JITC memerlukan modal untuk memulai pembangunan areal itu. Perusahaan ini meneken dua perjanjian pinjaman kepada PT JDC pada 8 Oktober 1990, yakni sebesar 8,75 juta Yen (jatuh tempo Agustus 2009) dan US$26,3 juta (jatuh tempo Agustus 1995). Pembangunan kawasan dapat diselesaikan pada tahun 1992.
Pahitnya, tahun 1999 JITC yang berubah nama menjadi PT Jakarta International Trade Fair (JITF), mulai menunjukkan ketidakmampuannya membayar pinjaman. Mereka meminta penjadwalan pinjaman ditambah lima tahun, sehingga pembayaran akan jatuh tempo pada Februari 2004. Puncak kebangkrutan JITF terjadi pada 18 Desember 2002. PT JITF tak mampu membayar bunga pinjaman yang sudah jatuh tempo sehingga PT JDC mengajukan permohonan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Pengajuan pailit inilah yang menjadi pintu masuk bagi Hartati Murdaya untuk menguasai lahan. Pertemuan pemegang saham Indonesia dalam PT JITF menyetujui PT Centra Cipta Murdaya (CCM) menjadi investor baru untuk menyelesaikan utang JITF. Sedangkan PT JDC sendiri sebenarnya berada dalam kondisi bangkrut. Perusahaan Jepang ini memi-liki utang kepada Industrial Bank of Japan (Mizuho). Jerome International Limited membeli hak piutang (cessie) PT JDC ke PT JITF.
Pelelangan PT JITF dilakukan pada 20 November 2003 oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dan PN Jakarta Utara melalui Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) Jakarta I dan II. Anehnya, lelang ini hanya diikuti oleh dua peserta, salah satunya PT JIExpo. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) curiga dengan kehadiran PT JIExpo. “JIExpo adalah perusahaan yang dibentuk beberapa hari sebelum lelang. Mungkin hanya seminggu sebelum lelang perusahaan itu dibentuk,” jelas Auditor BPK Cahyo Purwanto.
Kecurigaan BPK ini terekam dalam dokumen notulensi rapat antara Panja Monitoring Aset Negara dengan BPK pada 8 Juni 2012 yang diperoleh majalah detik. Bahkan menurut BPK, PT JIExpo baru menunjuk kuasa lelang sehari sebelum pelaksanaan lelang.
Kemenangan PT JIExpo ini lantas menghapus saham 5% milik negara melalui BPKK. PN Jakarta Pusat membubarkan PT JITF dan menunjuk Ratnawati W. Prasodjo sebagai kurator. Saham pemerintah dianggap masuk bagian dari PT JITF yang berarti turut terhapus dengan kepailitan PT JITF. Mantan Sekretaris Kementerian BUMN (menjabat pada periode 2005-2010) Said Didu mencium kejanggalan terhapusnya saham negara dalam pemailitan PT JITF. Dokumen pertemuan Panja Monitoring Aset Negara dengan Said menyebutkan penyertaan saham negara tidak dapat hilang walaupun perusahaan tersebut pailit.
Lenyapnya saham negara hanya dapat dilakukan jika lelang itu mendapat persetujuan Menteri Keuangan. Sekretariat Negara harusnya melakukan upaya hukum untuk tetap mempertahankan saham tersebut. “Seperti kasus di BUMN, Mahkamah Agung tidak mengizinkan lelang aset semacam itu tanpa persetujuan Menteri Keuangan,” sebutnya. Direktur Pusat Pengelolaan Kawasan Kemayoran (PPKK/pengganti BPKK) Mayjen Tabri mengaku pembayaran dividen 5% saham negara tidak pernah dilakukan oleh PT JIExpo. Pembayaran ini merupakan penyertaan modal berupa lahan oleh negara. “Hasil audit BPK tahun 2012, dividen ini harus diberikan kepada PPKK selaku pengelola berbentuk Badan Layanan Umum (BLU),” tegasnya. Pembayaran juga nihil dilakukan kepada PPKK di masa kepemimpinan Hendardji Soepandji. Ia mengaku sejak 2003 belum ada catatan pembayaran dividen yang dilakukan oleh PT JIExpo ke PPKK. Dividen harus dibayarkan karena mereka masih mengklaim ada saham negara di PT JIExpo karena proses lelang tidak benar seperti kata Said.
Ruginya negara dan lambannya respons pemerintah membuat Panja Monitoring Aset Negara geram. Anggota Panja Monitoring Aset Negara dari Fraksi PDIP Zainun Ahmad menganggap PT JIExpo melakukan penjarahan terhadap hak negara. Tak ayal jika Panja meminta BPK untuk mencari aspek kerugian negara. “Kami akan bawa sampai ke KPK. Kalau negara yang rugi, itu jelas korupsi,” tegasnya. Ia mengakui Murdaya Poo, suami Hartati, merupakan anggota DPR dari Fraksi PDIP ketika mendapatkan HGB atas lahan di Kemayoran itu. Murdaya Poo merupakan anggota DPR dari PDIP selama dua periode, yakni 1999-2004 dan 2004-2009. Namun jika perbuatannya makin menjadi-jadi maka partainya tidak ragu untuk mendorong penanganan ke KPK. “Memang dulu paling tidak ada dukungan dari PDIP, ya paling tidak dia kan anggota DPR dari PDIP. Tentu ia dipandang. Tetapi perilakunya tidak benar apalagi negara dan DKI sudah dirugikan,” jelasnya.
Namun tudingan Panja dan BPK ini dibantah oleh Direktur Marketing PT JIExpo Ralph Scheunemann. Iamengaku terlibat di PT JITF selama dua tahun sebelum pailit. Proses lelang dilakukan secara fair melalui lembaga yang berwenang. Saham negara luruh dengan lelang. PT JIExpo menganggap lelang murni bisnis. PT JIExpo sendiri telah memberikan saham sebanyak 13,1% ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai hibah. Urusan dengan negara selesai. “Waktu di-takeover-nya segala macam itu kan ofisial dari hasil lelang karena memang pada waktu JITF dinyatakan bangkrut, harus dijual, harus dilelang, maka dibelilah oleh PT JIExpo. Cerita singkatnya begitu ya.
Istilahnya lewat lelang yang resmi dan legal, sehingga akhirnya kepemilikan berubah menjadi PT JIExpo,” jelasnya. Murdaya sendiri harus merogoh kocek sekitar Rp1 triliun untuk mendapatkan hak JITF. PT JIExpo memenangi lelang dengan harga sebesar Rp493,6 miliar di PN Utara dan Rp432,1 miliar di PN Jakarta Pusat. Harga ini belum termasuk pajak. “Jadi grup saya itu ikutan lelang, daripada orang luar negeri yang ambil. Saya dimintai tolong untuk lelang membeli itu, kami kan membantu pemerintah. Saya disuruh membuktikan Jakarta Fair ini, segera memperbaiki semuanya yang enggak keruan di situ, yang income-nya cuma beberapa ratus juta,” jelas Murdaya.
Namun hingga kini penyelesaian lahan PT JIExpo belum menemukan titik terang. Koordinator Divisi Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Ucok Sky Khadafi mencurigai pemerintah sengaja melambatkan langkah untuk mengambil tindakan. Apalagi Panja Aset Negara selalu dibentuk di tiap periode DPR tapi tidak pernah ada langkah konkret dari DPR. Tak ayal jika masalah PT JIExpo pun tak kunjung menemukan penyelesaian.
Belum ada tanggapan untuk "Saham Negara Raib di Kemayoran"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.