POMPA-POMPA bensin nyaris di seluruh Malaysia pada Senin, 1 Desember yang lalu, memiliki masalah sama seperti halnya di Indonesia. Mereka kehabisan bensin berkualitas lebih bagus, RON 97. Padahal biasanya bensin yang harganya mengikuti harga pasar ini selalu berlimpah dan warga Malaysia biasa membeli RON 95.
Penyebab habisnya bensin berkualitas lebih bagus ini satu: harga RON 95, yang 2,26 ringgit (Rp 8.073), sudah mendekati harga RON 97, yang 2,46 ringgit (Rp 8.820). Isu penimbunan BBM pun muncul sampai Presiden Persatuan Pengusaha Stesen Minyak Malaysia (Hiswana Migas-nya Malaysia), Datuk Hashim Othman, membantahnya. “Kalau kami tidak menjualnya, kami tidak mendapat pendapatan,” katanya seperti dikutip harian setempat, The Star.
Perang minyak Amerika Serikat melawan Arab Saudi, yang menjatuhkan harga BBM ini, memang membuat negara yang biasa mensubsidi BBM menjadi memiliki pilihan. Harga RON 95 turun karena Malaysia mencabut subsidi BBM senyampang harga minyak dunia sedang turun. Artinya, jika nanti harga naik, otomatis harga di Malaysia ikut naik.
Nah, Indonesia? Indonesia, yang baru saja menaikkan harga bensin Premium sebesar Rp 2.000, tidak buru-buru mencabut subsidi seperti negeri jiran itu. Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan sedang menyiapkan skenario untuk mengantisipasi gejolak harga minyak sehingga dapat membuat kebijakan subsidi BBM yang tepat. “Harga minyak dunia sangat volatile, sekarang turun, tapi dua bulan lagi enggak tahu. Umumnya, orang prediksi harga minyak akan naik,” kata Sofyan.
Lima tahun lalu, saat harga minyak dunia turun drastis dan kebetulan saat itu menjelang pemilihan umum, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menurunkan harga BBM bersubsidi. Tapi pemerintah sekarang tidak mengurangi harga seperti dulu atau mencabut seperti Malaysia sekarang. Pemerintah sedang menggagas untuk mematok subsidi per liter. Jadi, harga Premium itu selalu disubsidi Rp 2.000 per liter misalnya. Saat harga keekonomian naik, harga ikut naik, dan saat turun, ikut turun pula. Angka ini bisa berubah di tahun anggaran berikutnya jika ada perubahan terhadap harga minyak dunia maupun nilai tukar rupiah terhadap dolar. “Jadi, sepanjang tahun, subsidinya tetap sehingga harga BBM bersubsidi per tahun menjadi lebih pasti,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto.
Bagi pemerintah, subsidi tetap ini lebih banyak manfaat dibanding mudaratnya karena membuat perhitungan subsidi tidak terpengaruh nilai tukar dolar atau harga minyak dunia. Selain itu, bagi pemerintah, subsidi tetap justru memberi kepastian dalam menetapkan budjet karena tidak perlu lagi membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Selama ini, setiap kali ada gejolak terhadap harga minyak naik maupun nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar, pemerintah harus kembali membahas APBNP dengan Komisi Anggaran DPR. Kebijakan subsidi tetap juga memberi kepastian pemerintah dalam menetapkan ruang fiskal atau tambahan anggaran untuk membiayai program tertentu. “Yang penting, likuiditas anggaran bagus dan ruang fiskal aman, enggak akan terganggu digugat oleh harga subsidi,” kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.
|
Harga minyak dunia ANJLOK, bagaimana dengan Indonesia? |
ANJLOKNYA harga minyak dunia karena produksi minyak serpih alias shale oil dari Amerika Serikat dan Kanada. Tapi mengapa di Indonesia tidak ada produksi minyak yang mahal proses produksinya ini? Menurut Ketua Indonesia Petroleum Association, Lukman Mahfoedz, faktor utamanya karena biaya mahal dan nantinya mesti dirembuk ulang bagi hasilnya dengan pemerintah. Ia menyiratkan bahwa investor mesti ditambah jatah dalam bagi hasilnya dikarenakan sulitnya proses menambang.
Lukman, yang juga Presiden Direktur PT Medco Energy International Tbk, mengatakan investasi shale oil lebih besar dan teknologi yang digunakan lebih canggih dibandingkan untuk eksplorasi minyak dan gas konvensional. Karena itu, perjanjian bagi hasilnya mesti beda. “Commercial term harus berbeda, maksudnya profit split-nya juga harus berbeda dengan yang konvensional,” kata Lukman.
Kebutuhan investasi dan teknologi itu jugalah yang membuat Medco tidak terburu-buru melakukan eksplorasi energi baru, seperti shale oil. Alasannya, karena perlu kajian mendalam untuk investasi, teknologi, maupun kepastian cadangan. Padahal, jika berkaca pada Amerika Serikat, shale oil membuat negara itu tidak lagi tergantung pada eksplorasi produksi minyak dan gas konvensional. “Dengan adanya shale gas dan shale oil, pertambangan minyak dan gas di Amerika makin besar,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Naryanto Wagimin.
Untuk shale gas semacam shale oil tapi berbentuk gas pemerintah sudah mulai memetakan cadangannya di Indonesia. Badan Geologi Kementerian ESDM mencatat estimasi kandungan shale gas di Indonesia mencapai 574 trillion cubic feet (Tcf/triliun kaki kubik) atau lebih besar ketimbang gas metana batu bara (coal bed methane/CBM), yang mencapai 453,3 Tcf dan gas konvensional sebesar 153 Tcf.
Tapi, untuk shale oil, sampai sekarang belum ada yang menemukan. Pemerintah pun belum memiliki data berapa perkiraan kandungan shale oil. “Kalau Pertamina atau kontraktor kontrak kerja sama mau mencari shale oil, pemerintah welcome,” kata Naryanto. Eksplorasi yang belum berjalan bukan hanya terjadi pada shale oil. Menurut Naryanto, Pertamina Hulu Energi, yang telah mendapat wilayah kerja shale gas, sampai sekarang belum melakukan eksplorasi.
Beberapa kendala harus dihadapi, yaitu lokasi pengeboran berada dalam batuan induk pada kedalaman antara 2.000 meter hingga lebih dari 3.000 meter di bawah tanah sehingga membutuhkan teknologi fracturing seperti yang dilakukan di Amerika. Belum lagi lokasi eksplorasi yang biasanya berada di kawasan hutan dan membutuhkan izin sewa pakai lahan dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Izin dari pusat belum bisa dipakai untuk memulai kegiatan eksplorasi.
Perusahaan migas harus mengurus sejumlah izin pertambangan maupun retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah. Menurut Naryanto, lamanya proses mengurus berbagai izin itu memakan waktu 7 bulan. Padahal kegiatan eksplorasi hanya berlangsung dalam 3 bulan. Selain itu, perusahaan migas juga masih dibebani dengan PBB eksplorasi migas meski kandungannya tidak ketemu. Berbagai macam kendala itu akhirnya membuat perusahaan migas berpikir ulang untuk mencari shale gas atau shale oil. “Apalagi untuk setiap satu hektare kawasan butuh biaya eksplorasi sebesar US$ 25 juta. Ini pun belum tentu dapat, sehingga harus berpindah,” tutur Naryanto.
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Surono menambahkan, pengembangan energi alternatif di Indonesia masih mandek karena bahan bakar minyak (BBM) masih menjadi andalan lantaran dianggap lebih mudah diproduksi. “Di Indonesia, masih melihat BBM sebagai sumber energi, belum tertarik ke energi non konvensional,” kata Surono. Dikutip dari majalahdetik.
Belum ada tanggapan untuk "Harga minyak dunia ANJLOK, bagaimana dengan Indonesia?"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.