TOMI Budianto, guru sekolah kejuruan bidang multimedia di Semarang, selalu memastikan ada kopi di rumahnya. Pada saat tetangga terlelap, pak guru yang pernah bekerja di rumah produksi, studio animasi, dan stasiun televisi swasta ini sering masih sibuk di depan komputer. Bergelas-gelas kopi menjadi temannya agar tetap bisa berkonsentrasi saat begadang. Tomi memang memiliki “kehidupan malam” di samping mendidik para muridnya pintar mengolah animasi dengan komputer. Pada malam-malam yang ditemani kopi itu, ia menjadi programmer dan animator lepas yang menerima pekerjaan dari Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara lain. Para klien di ujung lain dunia itu sedang sibuk bekerja saat Indonesia sudah masuk tengah malam dan sebagian besar penduduknya tertidur lelap. Jadi, katanya, “Banyak-banyak menyimpan persediaan kopi untuk menemani kita begadang.”
Tomi merupakan satu dari ratusan ribu pekerja profesional lepas dari Indonesia yang mengandalkan job dari luar negeri. Para pekerja lepas ini memanfaatkan Internet dan situs-situs yang mempertemukan keahlian mereka dengan perusahaan di luar negeri yang membutuhkan jasa dengan biaya jauh lebih miring. Situs-situs yang menjadi andalan para profesional lepas ini antara lain Odesk.com dan Freelancer. com. Ada pula situs spesialis penerjemah lepas, seperti Proz.com. Orang Indonesia yang bersedia menjadi pekerja lepas di Freelancer. com jumlahnya ratusan ribu. “Di Indonesia, sedikitnya ada 300 ribu freelancer yang tergabung di Freelancer.com,” ucap Helma Kusuma, country manager situs pencari kerja lepas ini. Meski demikian, ia mengakui banyak yang tidak aktif. Mungkin sudah mendaftar tapi kalah bersaing bisa jadi terlalu mahal meminta tarif atau kualifikasinya terlalu rendah saat berebut pekerjaan sehingga tidak aktif.
Situs-situs ini pada dasarnya mirip. Umumnya memberi semacam peringkat baik bagi pemberi kerja maupun bagi si pekerja lepas. Ada pula yang menjadi perantara sampai tahap layanan semacam “rekening bersama”. Jadi si pemberi kerja menitipkan uang kepada pengelola situs dan uang itu cair jika pekerjaan yang diminta sudah dikirim balik. Transaksi bisnis para pekerja lepas itu lumayan besar. Freelancer.com, misalnya, mencatat jumlah honor yang dibayar pemberi kerja dari luar negeri kepada profesional Indonesia via situs ini lebih dari Rp 4 miliar. Tapi rezeki ini tidak dibagi rata. Tiap freelancer berbeda-beda peruntungannya. Tomi, misalnya, mengatakan honor pekerjaan sampingan sebagai animator lepas tidak berbeda jauh dengan gaji sebagai guru. “Kadang melebihi gaji saya sebagai guru,” katanya. Tapi pekerja lepas lain, Fariz Tadjoedin, bisa mendapatkan US$ 3 ribu hingga US$ 10 ribu (Rp 30-100 juta) per bulan dari pekerjaan sebagai freelancer. Bahkan, karena banyaknya proyek program komputer yang dikerjakan, sebagian diberikan kepada sejumlah rekan. Dengan pemasukan sebesar itu, Fariz menjadikan pekerjaan freelancer sebagai satu-satunya cara mencari nafkah.
Fariz, yang berhenti kuliah di Universitas Bina Nusantara pada 2003, mulai menawarkan diri membuat program, membuat situs Internet, atau mengolah data lewat iklan di koran. Perlahan, pada 2007, ia mulai mendapat job dari luar negeri. Saat itu, ia hanya dibayar kurang dari Rp 500 ribu per pekerjaan. Pekerjaan pertama dengan bayaran besar datang dari sebuah bank sperma di Amerika Serikat empat tahun silam. “Mereka membayar saya US$ 3.000 (Rp 30 juta) untuk dua pekan kerja,” ucapnya.
Masuk situs pencari kerja lepas tidak berarti pekerjaan langsung dipegang. Tomi, misalnya, mendaftar pada Juli 2012. Tapi baru sekitar sembilan bulan kemudian ia mulai aktif menawarkan diri dan mencari-cari pekerjaan. Ia mulai memasang portofolio terbaik dan memasang harga tidak terlalu tinggi. Sebulan kemudian, ia mulai mendapat pekerjaan per-tamanya. “Proyeknya waktu itu mengerjakan grafis dan animasi sebuah game berbasis Android,” ucapnya. Uang pertama yang didapat sebesar US$ 22.
Beberapa perusahaan kemudian “berlangganan” proyek kepadanya. Salah satu perusahaan dari Kanada, misalnya, tiap bulan memesan animasi untuk pemasaran. Bahkan, karena sudah saling percaya, ia dan perusahaan dari Kanada itu tidak lagi menggunakan perantara, seperti Freelancer.com.
Sesekali ia mendapat klien nakal, keringat dan gelas-gelas kopi yang dihabiskan tidak dibayar meski proyeknya sudah selesai. Kadang ada juga klien yang meminta hal cukup sulit, seperti minta video animasi diisi suara dengan orang yang berbahasa ibu bahasa Inggris. Sumber:majalahdetik
Artikel Terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Suka duka menjadi seorang freelancer"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.