Berdasarkan informasi dari asosiasi perusahaan tambang yang diperoleh Apindo, ada sekitar 800.000 pekeria yang terancam di PHK. “Namun pekerja yang bakal terdampak langsung sebanyak 300.000 orang,” kata Sofyan. Sisanya, sekitar 500.000 pekerja tambang masih bisa melakukan kegiatan lain atau mencari pekerjaan lain karena bukan merupakan pegawai tetap dari perusahaan tambang. “Mereka merupakan pekerja alih daya yang dipekerjakan di kawasan tambang.”
Dari 300.000 jumlah pegawai tetap yang terancam diberhentikan, perusahan tambang jelas kesulitan untuk membayar pesangon yang dinilai cukup tinggi. “Bayangkan saja jika gaji mereka rata-rata Rp20 juta. Berapa total pesangon yang harus dibayar oleh perusahaan tambang untuk tenaga kerja yang terhitung ahli dan profesional tersebut?”
Daisy Primasari, Juru bicara Freeport Indonesia, sudah dengan tegas mengungkapkan dengan berjalannya undang-undang tersebut, Freeport jelas hanya mampu mengoperasikan 40% dari sistem produksi. “Freeport akan sangat sulit menjalankan rencana optimistis perusahaan jika pemerintah menjalankan pelarangan ekspor bahan mineral, termasuk konsentrat. Itu bukan preferensi kami,” katanya, baru-baru ini. Ketua Persatuan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Tambang Samawa (SPATS) PT NNT Iwan Setiawan mengakui Newmont tentu sanggup membayar pesangon karyawan. Namun, yang patut dicemaskan adalah kesinambungan perekonomian di daerah.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, Pemerintah tidak konsisten dalam melaksanakan Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara dengan berencana merevisi peraturan pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri tidak juga dulakukan dengan serius. “Sikap pemerintah yang melunak terlihat sangat dipengaruhi asing, terutama perusahaan tambang besar seperti perusahaan asal Amerika Serikat PT Freeport Indonesia dan PT Newmont,” tegas Marwan di Jakarta.
Menurut Marwan kebijakan hilirisasi mineral adalah reformasi pengelolaan pertambangan yang sangat sesuai dengan semangat nasionalisme. Kebijakan hilirisasi ditetapkan agar Indonesia menjadi tuan atas sumber kekayaan mineral tambang, yaitu dengan menguasai, menambang dan mengolah bijih mineral tersebut hingga ke berbagai produk turunan di hilir sebagai produk akhir.
Menurut pengamat pertambangan Kurtubi pemerintah harus membuat surat kontrak baru dengan kontraktor pertambangan yang dalam isi kontrak itu mereka berjanji membangun smelters dalam jangka waktu dua tahun, kalau dalam jangka dua tahun mereka tidak juga membangun smelter, pemerintah harus tegas dan memutuskan kontrak yang sudah dijalankan. “Apalagi perusahaan tambang besar tidak ada alasan untuk tidak bisa membangun smelters dengan alasan fasilitas infrastrukturnya tidak memadai, saya menilai saat ini perusahaan tambang besar tidak punya niat untuk membangun infrastruktur dikawasan pertambangannya, “ tegas Kurtubi.
UU Minerba sebenarnya merupakan upaya pemerintah untuk mewarisi nilai luhur dari UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3 yang mengamanatkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk rakyat.
Melalui peningkatan nilai tambah di dalam negeri, pengolahan dan pemurnian mineral itu bakal memicu industrialisasi yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan perekonomian bangsa dan masyarakat Indonesia.
Namun, penerapan aturan yang terburu-buru dan tidak matang bakal memakan banyak korban. Tentu saja bertentangan dengan semangat mulia meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. Presiden Direktur NTT Martiono Hadianto dalam siaran persnya beberapa waktu lalu mengatakan, pihaknya sudah melakukan proses pengolahan dan pemurnian mineral tembaga menjadi konsentrat hingga ke tahap 95%. Peningkatan mutu mineral itu sudah setaraf dengan harga produk akhir logam tembaga di pasaran internasional.
Secara teknis dan ekonomis, pihaknya tidak mungkin membangun smelter. Karena itu, pihaknya bekerja sama dengan perusahaan lain dalam hal membangun smelter. Pengamat Pertambangan MS Marpaung mengatakan, bijih mineral (ore) merupakan batuan yang baru diangkat dari hasil tambang kemudian dilakukan proses pengolahan dan peleburan sehingga menjadi konsentrat.
Di sisi lain, pemerintah menilai proses ore menjadi konsentrat belum merupakan bagian pengolahan. Padahal, proses mengubah batuan yang digali itu sebenarnya merupakan proses pengolahan dan pemurnian. “Isu-isu seperti ini yang menimbulkan polemik dan bikin bingung. Sebaiknya pemerintah menunda pelarangan ekspor mineral mentah yang akan diberlakukan 12 Januari 2014. Apalagi larangan itu bisa menimbulkan dampak yang besar karena berhubungan langsung dengan para pekerja tambang,” katanya.
Di samping itu, pemerintah menilai pengelolaan usaha pertambangan di Indonesia memang sangat perlu untuk dibenahi, terutama sistem pengolahan tambang yang melibatkan tenaga kerja/buruh. Menurut kajian Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, banyak perusahaan pertambangan temyata mengalihdayakan bisnisnya kepada perusahaan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Belum ada tanggapan untuk "Dilema Smelter: Dampaknya bukan hanya soal PHK, tetapi secara keseluruhan mempengaruhi perekonomian di daerah"
Posting Komentar
Kritik dan Saran yang membangun dari Anda sangat KAMI harapkan.
Silahkan isi KOMENTAR anda yang membangun untuk kemajuan dan koreksi di blog ini.
No Sara, No Racism Terima Kasih.